Gagal Bayar Utang Sudah di Depan Mata, AS Terancam Resesi, Janet Yellen: Waktunya 2 Pekan Lagi
Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen meyakini ekonomi AS akan jatuh ke dalam jurang resesi.ini dampaknya secara global
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen meyakini ekonomi AS akan jatuh ke dalam jurang resesi.
Hal tersebut akan terjadi jika Kongres gagal mengatasi batas pinjaman pemerintah federal sebelum default atau gagal bayar utang.
“Saya menganggap 18 Oktober sebagai tenggat waktu,” ucap Janet Yellen seperti dikutip Tribunnews dari CNBC Internasional, Kamis (7/10/2021).
Baca juga: AS Terancam Gagal Bayar Utang Senilai Rp 400 Ribu Triliun, Apa Dampaknya untuk RI?
“Ini akan menjadi bencana besar untuk tidak membayar tagihan pemerintah, bagi kami untuk berada dalam posisi di mana kami kekurangan sumber daya untuk membayar tagihan pemerintah," sambungnya.
Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden pada hari Senin meminta Kongres untuk menaikkan batas utang minggu ini agar menghindari gejolak ekonomi yang hampir pasti.
Biden menyalahkan Partai Republik dan Pemimpin Minoritas Senat Mitch McConnell, R-Ky., Karena menghalangi undang-undang yang akan mengangkat batas pinjaman melalui filibuster.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani Waspadai Risiko Gagal Bayar Utang AS, Bakal Pengaruhi Perekonomian Indonesia?
"Saya sepenuhnya berharap itu akan menyebabkan resesi juga," tambah Yellen.
Padahal, Menteri Keuangan AS ini selama berminggu-minggu telah mengeluarkan peringatan kepada Ketua DPR Nancy Pelosi, serta Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer bahwa AS tidak akan lagi dapat membayar utangnya sekitar 18 Oktober.
![Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen.](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/janet-yellen1.jpg)
Anggota parlemen harus menaikkan atau menangguhkan plafon utang sebelum tanggal tersebut atau berisiko gagal bayar AS untuk pertama kalinya.
Departemen Keuangan saat ini menggunakan tindakan darurat luar biasa untuk membayar penerimaan AS sejak mencapai plafon utang terakhir pada akhir Juli.
Tindakan luar biasa memungkinkan departemen untuk menghemat uang tunai dan menarik rekening tertentu tanpa menerbitkan obligasi baru.
Tetapi langkah-langkah itu bersifat sementara dan hanya diperkirakan akan bertahan hingga pertengahan Oktober, seperti perkiraan Departemen Keuangan.
Sementara AS tidak pernah gagal membayar tagihannya, para ekonom mengatakan default akan memicu kerusakan luas melalui lonjakan suku bunga, menodai kepercayaan pada kemampuan Washington untuk memenuhi kewajibannya di masa depan tepat waktu dan berpotensi menunda pemeriksaan Jaminan Sosial kepada sekitar 50 juta orang dewasa yang lebih tua.
Kelambanan keputusan Kongres ini juga dapat menggoda beberapa negara untuk menahan lebih sedikit obligasi Treasury dan melemahkan permintaan dolar, dan mungkin memberi China keunggulan dalam upayanya untuk menggantikan greenback sebagai mata uang pilihan dunia.
"Sekuritas Treasury AS telah lama dipandang sebagai aset teraman di planet ini,” kata Yellen.
“Gagal bayar tagihan jatuh tempo akan benar-benar menjadi bencana akan dan menempatkan itu dalam pertanyaan,” pungkasnya.
Bagaimana yang terjadi dengan Indonesia jika bencana ekonomi di AS terjadi imbas gagal bayar utang?
Pengamat ekonomi sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, dampak negatifnya akan dirasakan secara global.
Bhima menuturkan, setelah terjadinya krisis pandemi, kemungkinan akan muncul sebuah krisis baru yakni krisis imbas utang dan bakal lebih dahsyat dari krisis 2008.
Hal tersebut akan berimbas keluarnya dana asing dari negara berkembang seperti Indonesia. Lantaran para investor akan mencari aset yang aman.
“Problemnya, surat utang AS dan dolar AS itu kan selama ini safe haven aset, kalau runtuh trust-nya maka investor bisa lompat ke emas. Jadi modal keluar dari bursa saham, beralih ke instrumen emas batangan. Itu bisa jadi,” terang Bhima saat dihubungi Tribunnews, Kamis (7/10/2021).
“Pelemahan nilai tukar rupiah otomatis tidak bisa dihindari, cadangan devisa akan tersedot untuk stabilisasi rupiah,” sambungnya.
![Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/direktur-celios-bhima-yudhistira.jpg)
Tak hanya sampai disitu, menurut Bhima, kinerja ekspor juga akan terganggu cukup dalam karena krisis utang membuat pemulihan ekonomi di negara mitra dagang indonesia kembali terganggu.
Lalu apa yang harus dilakukan Indonesia untuk mengantisipasi dampak ini?
Bhima membeberkan, antisipasi Indonesia saat ini adalah mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) saat ini terus menggencarkan dan memperkuat kerangka kerja sama Local Currency Settlement (LCS) dengan berbagai Bank Sentral negara mitra.
Local Currency Settlement (LCS) adalah penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara, dimana settlement transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing.
Dalam arti kata lain, transaksi bilateral kedua negara tersebut tidak lagi menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
“Kerjasama dengan berbagai negara untuk de-dolarisasi misalnya penggunaan ringgit untuk ekspor-impor ke Malaysia, atau yuan ke China bisa jadi solusi jangka menengah,” papar Bhima.
Dirinya kembali melanjutkan, BI dan Pemerintah disarankan untuk menambah terus porsi cadangan devisa, sehingga guncangan eksternal bisa diantisipasi.
“Cadangan devisa salah satunya disumbang dari kegiatan ekspor, berarti penetrasi ekspornya perlu didorong. Apalagi saat ini momentum pemulihan ekonomi global, pasti butuh bahan baku dan barang setengah jadi dari Indonesia,” pungkas Bhima.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.