Moratorium Penghentian Pemasangan Iklan Kampanye Parpol Ambigu
Pemerhati pemilu Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai moratorium penghentian pemasangan iklan
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerhati pemilu Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai moratorium penghentian pemasangan iklan kampanye parpol di lembaga penyiaran antara KPU, Bawaslu, KPI dan KIP adalah ambigu.
Alasannya, menurut Ray, isi moratorium tersebut sebenarnya telah diatur dengan cermat di dalam Undang-undang (UU) No 8/2012 tentang Pemilu. Khususnya dalam pasal 82 sampai pasal 100.
Di dalam pasal itu, Ray jelaskan, dengan jelas dan terang benderang disebut apa yang boleh, tidak boleh dan sanksi-sanksi atas pelanggaran masa dan iklan kampanye.
"Tentu hal ini belum ditambah dengan pengaturan baik yang dibuat oleh KPU maupun oleh KPI terkait dengan tata cara iklan kampanye di media penyiaran," ungkap Ray kepada Tribunnews.com, Sabtu (1/3/2014).
Selain itu, ambigu menurutnya, karena objek moratorium ini justru tidak kepada mereka yang mengikat moratorium. Tetapi terhadap pihak lain yang dijamin oleh UU aktivitasnya. Dalam hal ini adalah parpol peserta pemilu.
Alasan lainnya, moratorium ini juga tidak memberi kejelasan apa yang diikat oleh mereka pada diri mereka, atau pada objek lainnya.
"Apakah iklan kampanye atau iklan politik lainnya. Jika yang dimaksud larangan untuk iklan kampanye tidak pada waktunya, hal itu telah diatur pada pasal 83 ayat 2 UU No 8/2012," tuturnya.
"Sejatinya moratorium adalah menghentikan kegiatan yang dibolehkan," tegas Ray.
Kemudian, moratorium sendiri tidak dapat memuat sanksi. Pelanggaran moratorium hanya berakibat pembatalan moratorium.
"Maka aneh kalau parpol yang tidak ikut mengikat diri pada moratorium dapat sanksi. Karena tidak melaksanakan isi moratorium," jelasnya.
Oleh karena itu, menurut dia, yang dibutuhkan dan diperlukan bukan moratorium tapi penegakan hukum.
"Mereka mengikat objek lain dengan larangan yang memang dasarnya sudah dilarang," ujarnya.
Dengan begitu, menurut Ray yang sebenarnya dibutuhkan bukanlah moratorium, tapi penegakan hukum atas apa yang mereka langgar. Itulah yang tidak hadir dan dengan tegas dilaksanakan baik oleh Bawaslu maupun KPI.
Ray mengatakan, kalau peraturan yang ada dilaksanakan dengan tegas dan konsisten, maka moratorium itu jauh dari dibutuhkan. Bahkan moratorium itu berkesan diadakan justru untuk menutupi kelemahan penegakan aturan yang selama ini terjadi.
"Dengan dasar UU saja aturan diabaikan dan penyelenggaranya takut menegakkannya. Apalagi kalau dasarnya hanya moratorium. Ini seperti mengulur-ulur waktu untuk menegakkan aturan yang sudah baku," kritiknya. (andri malau)