Kena Protes hingga Stres
penerjemah juga mesti mengikuti aturan main. Bahkan, terkadang penerjemah bahasa isyarat mendapat keluhan hingga protes.
Editor: Ade Mayasanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Qodir dan Nurmulia Rekso P
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - MENJADI penerjemah bahasa isyarat pada debat capres-cawapres bukan hal mudah. Selain menjaga netralitas, penerjemah juga mesti mengikuti aturan main. Bahkan, terkadang penerjemah bahasa isyarat mendapat keluhan hingga protes.
"Stres iya, karena kami sebagai manusia biasa. Sebab, kami mendapat beberapa protes," kata Pinky CR Warouw kepada Tribunnews, Kamis (26/6/2014) lalu.
Keluhan dan protes tersebut datang dari tunarungu hingga pihak tim sukses capres-cawapres dan KPU. "Diprotes karena layarnya di layar TV kecil, bagian background terlalu terang atau terlalu gelap. Jadi, kami berusaha menyampaikan sebagus mungkin," kata Pinky.
Menurutnya, porsi kotak layar televisi untuk penerjemah bahasa isyarat normalnya adalah 1/3 layar televisi. "Layar yang disediakan sekarang masih kecil, perlu teropong bintang untuk melihatnya. Setidaknya 1/3 layar tv sudah bagus, kalau pun dikurangi jadi 1/6 atau turun jadi 1/8 layar," jelasnya.
Selain itu, tuna rungu juga mengeluhkan saat penerjemah tidak mengenakan baju berwarna hitam, yakni baju yang telah ditetapkan sebagai pakaian internasional bagi penerjemah bahasa isyarat.
"Baju hitam itu kode etik internasional. Kan pemerintah Indonesia inginnya kita pakai batik karena debat ini acara kenegaraan. Bayangkan, kalau kami pakai baju batik itu akan terlalu tajam, mengganggu mata jika dilihat tuna rungu dari televisi," tuturnya.
Protes lain di antaranya, saat penerjemah menerjemahkan mimik dan guyonan capres dalam bahasa isyarat. Hal itu diprotes karena dinilai 'meledek' salah satu calon atau memihak salah calon lain. (bersambung)