Penjual Suara Grosiran Hantui Pilpres 2014
Hasilnya ditemukan adanya penjual suara grosiran atau yang diistilahkan sebagai vote trading.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penelitian sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM) Mada Sukmajati mengungkap adanya aktivitas politik uang dalam Pemilihan Umum 2014. Hasilnya ditemukan adanya penjual suara grosiran atau yang diistilahkan sebagai vote trading.
Mada menjelaskan bahwa vote trading adalah kecurangan yang dilaksanakan masif oleh para penyelenggara pemilu. Kecurangan tersebut dilakukan dengan mengubah angka jumlah suara asli ketika proses penghitungan.
"Perdagangan suara grosiran itu kita temukan pada Pemilihan Legislatif 9 April 2014 lalu. Skala penggelembungan suaranya besar, makanya harus melibatkan penyelenggara. Ini sangat berpotensi terjadi di Pilpres," ujar Mada kepada Kompas.com, Selasa (8/7/2014) siang.
Dari delapan tahapan pemilu, mulai dari sisi penyusunan daftar pemilih hingga tahap akhir yakni pengucapan sumpah atau janji, tahapan yang paling rentan akan terjadi vote trading berada di tahap pemungutan dan pengitungan suara serta penetapan hasil pemilihan umum.
Mengapa vote trading bisa terjadi?
Mada menjelaskan, kontestan pemilu tingkat lokal biasanya dikomandani oleh orang lokal pula. Pada umumnya, mereka memiliki relasi kuat dengan penyelenggara pemilu. Bahkan, sering para penyelenggara pemilu merupakan sanak keluarga atau bagian jaringan.
"Jaringan ini sangat mudah diaktivasi untuk pemenangan satu kontestan pilpres melalui manipulasi suara," lanjut dia.
Selain itu, lanjut Mada, minimnya alat kontrol yang sistematis terhadap penyelenggara pemilu juga menjadi ruang vote trading itu terjadi. Akibatnya, penelitian UGM menunjukkan adanya praktik NPWP atau 'Nomor Piro Wani Piro'.
Lantas, bagaimana cara mengantisipasinya?
Mada menegaskan, kunci antisipasi aksi curang tersebut ada di saksi resmi dan relawan dari kandidat yang bertarung di pemilu.
Saksi harus memiliki C-1 yang menjadi dokumen hasil penghitungan di tingkat TPS yang sama datanya dengan yang dimiliki Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Formulir itu akan menjadi basis mengontrol rekapitulasi desa, kecamatan dan tingkatan administratif selanjutnya. Supaya, di TPS suara si A berapa, begitu naik ke Kecamatan sudah berkurang atau gelembung," ujar Mada.
"Konsentrasi si saksi dan relawan juga menjadi kunci. Kadang karena penghitungan digelar malam, kondisi saksi dan relawan sudah lelah dan memungkinkan adanya kecurangan," ucap dia.