Said Salahuddin Sebut DPK dan DPKTb Tidak Sesuai UU
Menurut Said, pemilih yang diakomodir dalam undang-undang adalah pemiilh yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Said Salahuddin, saksi ahli Prabowo-Hatta kebijakan KPU yang mengeluarkan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPK) adalah kekeliruan karena itu tidak diatur dalam undang-undang.
Menurut Said, pemilih yang diakomodir dalam undang-undang adalah pemiilh yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Yang dikenal di perundang-undangan kita itu sejak Pemilu pertama itu adalah DPT. Selain itu tidak ada. Permilu pertama yang kita sebut Pemilu paling demokratis 1955, itu hanya mengenal pemilh tetap DPT, bahkan ada satu pasal yang menyatakaan secara tegas bahwa tidak seorang pun diperbolehkan menggunakan hak pilihnya kalau dia tidak terdftar dalam dafatar pemilih tetap," ujar Said saat sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK), di Jakarta, Jumat (15/8/2014).
Said melanjutkan warga negara yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tidak dapat dikatakan serta merta pemilihan umum telah berlangsung secara tidak demokratis.
Itu disebabkan karena memang sebetulnya tugas untuk menyusun daftar pemilih telah ditetapkan di tahapan awal.
Menurut Said, KPU seharusnya mengutamakan tugas penyusunan daftar pemilih dengan masa jabatan lima tahun.
Akan tetapi, kata dia, KPU ternyata tidak serius dalam menetapkan daftar pemilih.
Itu kemudian diperparah dengan keputusan MK Nomor 102 tahun 2009 pemilih yang tidak terdaftar di DPT bisa menggunakan KTP atau Paspor.
"Hal ini berimplikasi KPU semakin malas untuk menyusun daftar pemilih.
Mereka akan mengatakan tidak terdaftar dalam DPT masih ada DPK dan DPKTb.
Itu membuat merka tidak tertantang untuk mempunyai tanggungjawab yang tinggi sebagai penyelenggaran yang professional," tukas Said.