MUI Keberatan Penerapan Sekolah 5 Hari
Sekolah dikhawatirkan akan membuat model pendidikan Madrasah Diniyah gulung tikar.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy mengkaji ulang kebijakan sekolah lima hari. Rencananya, kebijakan sekolah lima hari akan diterapkan mulai tahun ajaran 2017.
Wakil Ketua Umum MUI, KH Zainut Tauhid Sa'adi dalam keterangan pers, Minggu (11/6/2017) menyatakan, kebijakan tersebut dapat berpengaruh pada praktik penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang dikelola swadaya masyarakat. Misalnya, di Madrasah Diniyah dan pesantren.
Zainut mengatakan, biasanya kegiatan keagamaan tersebut dimulai setelah pelajar pulang dari sekolah umum, yaitu SD, SMP, dan SMA.
Menurut Zainut, dalam kebijakan sekolah lima hari sepekan, maka berlaku pendidikan selama delapan jam per hari. Hal ini, kata dia, dikhawatirkan akan membuat model pendidikan Madrasah gulung tikar.
Padahal, pendidikan model Madrasah Diniyah dan pesantren selama ini telah berkontribusi besar bagi penguatan nilai-nilai keagamaan, pembentukan karakter, dan penanaman nilai-nilai akhlak mulia bagi anak didik.
"Untuk hal tersebut, MUI meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut," ucap Zainut.
Zainut khawatir apabila kebijakan sekolah lima hari diterapkan, maka akan banyak Madrasah Diniyah yang tutup. Demikian juga dengan pengajar di Madrasah Diniyah menjadi kehilangan pekerjaan.
"Hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasarkan Pancasila," imbuh Zainut.
Diterapkan bertahap
Di sisi lain, Zainut mempertanyakan kesiapan sarana dan prasarana di sekolah, apakah layak untuk diterapkan pendidikan delapan jam sehari. Sebab kalau tidak, imbuhnya, alih-alih tercipa suasana belajar yang kondusif, nyaman, dan menyenangkan. Justru anak didik akan merasa jemu dan stress.
Atas dasar itu, Zainut meminta kebijakan ini diterapkan secara bertahap, selektif, dan dengan persyaratan ketat.
"Misalnya hanya diberlakukan bagi sekolah yang sudah memiliki sarana pendukung yang memadai. Sedangkan bagi sekolah yang belum memiliki sarana pendukung tidak atau belum diwajibkan," kata dia.
Selain itu, Zainut juga mengusulkan, kebijakan tersebut tidak diberlakukan untuk semua daerah dengan tujuan untuk menghormati nilai-nilai kearifan lokal.
"Jadi daerah diberikan opsi untuk mengikuti program pendidikan dari pemerintah, juga diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang selama ini sudah berjalan di masyarakat," kata Zainut.
Penulis: Estu Suryowati