Kisah Lala, Gadis Gifted Lulus Kuliah Cum Laude di Usia 19 Tahun, Pernah Dianggap Trouble Maker
Gadis yang akrab disapa Lala itu mendapatkan gelar cum laude dengan IPK 3,78. Lala adalah gadis berkebutuhan khsusus, atau anak gifted
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM - Prestasi Maria Clara Yubilea Sidharta bisa dibilang sangat cemerlang, menamatkan pendidikan sarjana di Universitas Negeri Yogyakarta di usianya yang ke-19 tahun.
Gadis yang akrab disapa Lala itu mendapatkan gelar cum laude dengan IPK 3,78.
Tidak hanya itu, Lala adalah gadis berkebutuhan khsusus, atau anak gifted.
Seperti dijelaskan dalam artikel sebelumnya, anak gifted memiliki kecerdasan intelektual very superior atau skor IQ lebih dari 130 dalam skala wechsler.
Anak-anak gifted masuk dalam kelompok berkebutuhan khusus karena memang ada kebutuhan spesifik yang harus dipenuhi.
Para psikolog mengungkap ada lima kebutuhan khusus yang umum dialami anak gifted, yakni sulit berinteraksi dengan teman sebaya, mudah bosan dan butuh hal menantang, mudah kehilangan motivasi terhadap hal "monoton", juga sulit berkomunikaasi karena anak gifted harus menerjemahkan gagasan rumit dalam pikirannya menjadi bahasa yang mudah dipahami orang lain.
Lantas, apakah Lala juga mengalami hal-hal tersebut?
Saat Kompas.com mengunjungi rumah Lala dan orangtuanya Senin sore (1/9/2019), sedikit banyak mereka bercerita tentang masa kecil Lala hingga dia tumbuh remaja.
"Lahir jadi anak gifted, enggak kerasa apa-apa sih. Kerasanya seperti anak biasa aja," kata Lala kepada Kompas.com di rumahnya.
"Aku pun tahu gifted pas umur 13 tahun itu, awalnya aku juga enggak ngerti-ngerti banget, apaan si gifted. Yang aku tahu selama ini adalah, aku gampang bosen. Aku malah tahunya, aku enggak pinter ya di sekolah, berteman enggak pinter, tugas sekolah enggak ada yang beres. Karena aku gampang ter-distract mungkin ya. Aku ikut les juga enggak pernah selesai," kata Lala.
Dia ingat, ketika masih SD dulu, hal-hal yang menjadi kesukaan Lala saat ini seperti menggambar, nari, kesenian, dan lain-lain justu tidak pernah diapresiasi di kelas. Ini juga yang membuat Lala tidak terlalu suka dengan hal tersebut. "Nah waktu homeschool, baru keliatan.
Eh kok aku jadi suka hal-hal yang dulu aku enggak suka," kata Lala.
Bagi orangtua Lala, B. Boy Rahardjo Sidharta dan Patricia Lestari Taslim, mengasuh anak gifted harus sabar.
Di mata Boy dan Patricia, Lala kecil sangat aktif dan kerap bosan melakukan sesuatu.
Playgroup dan TK tak pernah lebih dari 10 bulan
Bayangkan saja, saat ada di playgroup Lala hanya bertahan selama setengah tahun, kemudian dia mogok sekolah minta langsung masuk TK.
Ketika sudah masuk TK, Lala hanya menjalani selama 10 bulan.
Patricia pun masih ingat beberapa kejadian lucu saat Lala masih duduk di TK.
Salah satunya, Lala kerap bertengkar dengan temannya karena masalah bahasa.
Berangkat dari pengalaman Patricia yang pernah mendapat beasiswa di Filipina tanpa dibekali bahasa Inggris, dia dan suami sepakat untuk mengajarkan bahasa Inggris pada putrinya sejak kecil.
"Kosa kata dia (Lala) sepertinya lebih banyak bahasa Inggris sewaktu kecil. Sehingga di sekolah (TK) terjadi pertengkaran-pertengkaran seperti misal temennya sebut warna kuning, Lala bilang 'no no no, it's yellow'. Nah, hal-hal seperti ini sering terjadi," ujar Patricia.
Selain itu, dalam bidang calistung alias baca, tulis, hitung, Lala bisa disebut lebih unggul dibanding teman sebayanya.
Di saat teman yang lain baru belajar memegang alat tulis, Lala sudah terbiasa dengan calistung.
Maria Clara Yubilea Sidharta (19), si anak jenius memiliki banyak bakat di bidang seni. Salah satunya tari Bali.
Lala didampingi kedua orangtuanya B. Boy Rahardjo Sidharta dan Patricia Lestari Taslim.
"Bukan kita yang paksaan. Dalam dunia pendidikan, kebetulan saya dari SPG (Sekolah Pendidikan Guru), saya dulu diajari bahwa ketika anak mulai tertarik mempelajari sesuatu, berarti dia berada di masa pekanya. Saat itulah, saat paling tepat untuk mengajarkan anak," kata Patricia.
"Saya hanya mengikuti itu saja. Mengalir begitu saja. Saya tidak pernah berpikir ini terlalu awal atau ini terlambat," tegas dia.
Setelah Lala menolak berangkat sekolah TK, Patricia dan suami hendak mencarikan Lala sekolah baru agar putri semata wayangnya bisa melanjutkan ke TK B.
Namun, gagasan itu langsung ditolak mentah-mentah. Di usia lima tahun, Lala justru meminta masuk SD.
Persyaratan masuk SD saat itu adalah anak sudah bisa calistung.
Karena itu sudah jadi panganan sehari-hari Lala kecil, dia pun lolos tes dan dinyatakan bisa masuk SD.
Saat itu, baik Patricia dan Boy belum menyadari bahwa anak mereka meski masih balita tapi kemampuan berpikir sudah melebihi umur.
Sekolah Dasar, si anak suka panjat pohon dan dianggap trouble maker
Perjalanan Lala di SD pun tidak berjalan mulus.
Lala kerap dianggap sebagai trouble maker dan beberapa kali pindah sekolah.
Namun akhirnya saat Lala kelas 2 SD, Patricia dan suami sepakat untuk tidak lagi memindahkan Lala ke sekolah lain.
Keduanya memaksa Lala untuk bertahan sampai lulus ujian nasional.
"Saya ingat, saya nego sama gurunya, terserah Lala mau di kelas atau enggak, yang penting dia (Lala) sekolah. Apalagi bapak dosen, saya juga mantan guru, kalau anaknya enggak sekolah apa kata dunia," kata Patricia sambil tertawa.
Alih-alih ada di dalam kelas, guru pun melaporkan Lala lebih sering berada di ruang kepala sekolah untuk membaca koran atau di perpustakaan.
Bahkan, seringkali Lala berada di sawah atau di atas pohon. Perilaku Lala yang sangat aktif ini diakui Boy membuat guru-gurunya kewalahan.
"Kita tahunya dia hiperaktif saja," ungkap Boy yang juga menjadi dosen di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Boy bersama istri pun pernah menjemput Lala pulang sekolah, dan rupanya Lala kecil yang masih duduk di bangku SD sedang bermain di atas pohon.
Lala sendiri sudah meminta homeschooling sejak kelas 2 SD. Baik Boy dan Patricia tidak tahu apa itu homeschooling dan dari mana Lala mengenal istilah itu.
Kedua orangtua Lala sekuat tenaga meyakinkan putrinya agar mau tetap menjalani pendidikan SD sampai dia tamat ujian. Setelah itu, baru masalah homeschooling dan lain-lain dibicarakan lagi.
Homeschooling dan awal mula gifted
Setelah lulus SD, awalnya Lala diajak kedua orangtuanya melihat SMP-SMP di kota gudeg.
Dari SMP yang paling dekat hingga paling jauh, dari yang biaya sekolahnya terjangkau sampai mahal. Sayang, semua ditolak Lala.
Dia kukuh menginginkan sekolah di rumah.
"Mau homeschooling, mau belajar di rumah sama mami papi aja," kata Patricia mengenang perkataan putrinya sekitar 7-8 tahun lalu.
Perdebatan besar pun muncul di keluarga besar, termasuk dari sang ayah, Boy.
"Dalam hati saya, enggak mungkin ini anak dosen kok homeschooling. Selalu ada pertentangan di batin saya. Dan karena saya basic-nya pendidikan, saya tetap arahkan ke ijazah. Jadi Lala ikut homeschooling, tapi ikut kejar paket untuk dapat ijazah," ungkap Boy.
Setelah 1,5 tahun homeschooling, Lala meminta kepada orangtuanya untuk ikut ujian nasional.
Untuk bisa mengikuti ujian, syarat yang harus dituntaskan adalah memperoleh skor IQ di atas 130 dalam skala wechsler.
"Saat dites IQ pertama, hasilnya 131, hanya lewat sedikit dari standar. Itulah yang membuat Lala bisa ikut ujian Kejar Paket B (setara SMP)," ujar Patricia.
Satu setengah tahun setelah itu, Lala kembali melakukan tes IQ untuk mengikuti ujian Kejar Paket C (Setara SMA). Dia mendapat skor tes IQ antara 134 sampai 135.
Secara teori wajar ada perbedaan 3-5 skor IQ, karena adanya faktor bias. Sejak tes IQ pertama itulah, Patricia bertanya-tanya, ada apa dengan IQ di atas 130 dalam skala wechsler,
kenapa hal ini menjadi syarat untuk bisa mengikuti ujian lebih cepat. Patricia mulai mencari-cari informasi tentang IQ di atas 130 itu.
Akhirnya Patricia menemukan, bahwa anak dengan IQ di atas 130 dalam skala wechsler merupakan anak-anak gifted.
Sejak saat itulah Patricia mulai menempa diri lagi untuk mempelajari gifted lewat mailing list, hingga akhirnya membentuk komunitas Parents Support Group for Gifted Children (PSGGC) Yogyakarta.
"Kami kemudian berpikir. Ada baiknya memang dia kuliah. Saran dari hasil tes IQ, mengambil jurusan bahasa. Akhirnya diambillah bahasa yang belum ia kuasai, yaitu Pendidikan Bahasa Jerman," ungkap Patricia sembari menyebutkan bahwa jurusan tersebut memang hanya tersedia di UNY.
Lala merupakan mahasiswa termuda di angkatannya. Dia masuk kuliah di usia 15 tahun lebih 3 bulan.
Selama perkuliahan, dosen dan teman-teman Lala sangat memberi dukungan dalam belajar. Bahkan, Lala kerap dijadikan rebutan apabila terdapat tugas kelompok.
"Jadi lingkungan di UNY inklusif. Ada dua alasan sebenarnya. Pertama karena Lala masih imut, anak usia 15 tahun, dan kedua karena Lala cepat belajarnya. Setahun belajar Jerman, dia sudah fasih," kenang Patricia.
Untuk mendukung kegiatan belajar putrinya, Patricia sejak awal perkuliahan selalu mengantar jemput Lala yang masih di bawah umur.
Ibu ikut kuliah agar lebih memahami ABK Selain aktif di komunitas, Patricia juga ikut mengambil S2 Pendidikan Luar Biasa UNY angkatan 2016, atau setahun setelah Lala masuk kuliah. Namun setahun berjalan, Patricia merasa bosan jika hanya datang ke UNY untuk antar jemput. Terlebih lagi, kebutuhan khusus Lala terus berkembang seiring bertambahnya usia.
Maria Clara Yubilea Sidharta (19) menjadi mahasiswa termuda yang diwisuda dan meraih gelar cum laude dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada Sabtu (31/8/2019) bersama kedua orangtuanya. Lala diwisuda bersama ibunya Patricia Lestari Taslim yang menyelesaikan S2 Pendidikan Luar Biasa UNY.
"Saya merasa tidak cukup bekal untuk membantu (Lala). Sudah bikin sakit kepala ini. Sehingga seizin suami saya ingin kuliah lagi, agar punya ilmu yang bermanfaat dalam mendidik Lala ataupun anak-anak gifted lainnya," ungkap Patricia atas pergolakan batin yang terjadi saat itu.
Akhirnya setahun setelah Lala mulai kuliah, Patricia mendaftar dan diterima di S2 Pendidikan Luar Biasa UNY angkatan 2016.
Pada saat itu, Patricia merupakan satu-satunya mahasiswa yang tidak berlatar belakang pendidikan luar biasa di jenjang S1 nya.
"Saya guru seni musik. Lainnya teman saya, guru di SLB, dan anak-anak lulusan PLB. Alih jurusan bukan hal yang mudah ternyata karena saya belajar teori dari awal," kenang Patricia.
Perjalanan Patricia menempuh studi tidak mudah. Beberapa kolega menjadikannya bahan bercanda karena hendak menjadikan putrinya sebagai kelinci percobaan atas teori Pendidikan Luar Biasa yang diperolehnya di dalam ruang kuliah. Patricia tak bergeming dengan tudingan tersebut.
Untuk mendukung studinya, Patricia juga harus mengejar ketertinggalan ilmu dengan menumpang belajar di SLB Marganingsih Tajem.
Di sana ia memperoleh teori terkait pendidikan luar biasa sekaligus mempraktikkannya secara langsung.
"Setiap kamis dan Jumat saya kesana. Membantu mengajar, dan belajar teori-teori PLB. Tidak dibayar, karena saya yang membutuhkan," ungkap Patricia.
Patricia ingin terus mempelajari tentang gifted karena dia merasa banyak masyarakat belum memahami tentang kondisi spesial ini. Seringkali gifted disamakan dengan autisme, padahal berbeda.
"Nampak sama, tapi berbeda," kata Patricia.
Dia memberi contoh, anak autisme memang suka melakukan hal berulang, sebagai contoh bertepuk tangan. Anak autisme bertepuk tangan karena memang mereka suka melakukan itu.
Namun ketika anak gifted terus menerus bertepuk tangan, sebenarnya dia sedang berpikir kenapa bertepuk tangan bisa menimbulkan bunyi, kenapa bunyinya bisa berbeda.
"Ekspresi wajah berbeda (autisme dan gifted). Anak gifted melakukan sesuatu karena rasa ingin tahunya," kata Patricia.
Kesibukan setelah kuliah Anak semata wayang meraih gelar sarjana, disebut Boy dan Patricia baru awal mula dari perjalanan panjang.
"Kita harus bisa menggali potensi anak dan jangan memaksakan kehendak. Untuk anak-anak gifted tidak bisa dipaksa, kita harus dapat memberikan mereka penjelasan secara logis," ujar Patricia.
"Didik anak dengan sepenuh hati. Jangan membanding-bandingkan karena setiap anak unik. Semua memiliki potensi masing-masing yang harus diasah demi masa depan anak yang terbaik sesuai dg passion anak," ujar Patricia saat dihubungi Kompas.com (3/9/2019).
Patricia juga menyampaikan anak berkebutuhan khusus membutuhan sistem pendidikan yang memahami dan mendukung mereka berkembang.
"Jangan paksa mereka untuk memahami sistem," pesan Patricia.
Skripsi dan tesis tak menjadi karya terakhir Patricia dan Lala di UNY.
Selepas kuliah, Lala berencana melamar beasiswa untuk pendidikan khusus maupun psikologi di universitas Amerika Serikat. Akhir bulan ini, Lala bersama Patricia serta komunitas orangtua anak gifted di Yogyakarta bakal merilis buku bunga rampai "Menyongsong Pagi".
Buku ini memuat best practice langsung pengalaman orangtua dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus. Lala menjadi satu-satunya anak gifted yang ikut menulis buku tersebut, sekaligus sebagai penulis termuda.
"Ada dosen PLB UNY yang juga ikut menulis. Dalam kesempatan yang sama kita menggelar seminar bertema "Pendidikan Anak Gifted".
Melalui buku dan seminar tersebut, Patricia dan Lala berharap pengalaman sekaligus ilmu mereka terkait anak berkebutuhan khusus tidak hanya berhenti di diri mereka sendiri.
Buku ini diharapkan dapat membantu masyarakat luas agar pendidikan inklusi dapat dirasakan lebih banyak lagi manfaatnya.
“Saya tahu, banyak orang tua di luar sana yang bingung anak berkebutuhan khusus ini diapakan. Tidak banyak yang seberuntung kami mengenal ilmu pendidikan luar biasa di UNY. Kami ingin ilmu ini membumi," pungkas Patricia.
Penulis: Gloria Setyvani Putri
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Cerita Anak Gifted Maria Clara Yubilea, Trouble Maker Hingga Lulus Sarjana Termuda