Mengenal Lebih Jauh KBBI, Dari Sejarah Sampai Proses Masuknya Sebuah Kata
Tanpa disadari banyak orang, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) telah memiliki sejarah perkembangan yang panjang sejak bahasa Indonesia resmi digunak
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM – Tanpa disadari banyak orang, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) telah memiliki sejarah perkembangan yang panjang sejak bahasa Indonesia resmi digunakan pada tahun 1922. KBBI I pertama kali diluncurkan pada tahun 1988 dengan 62.000 entri.
Sumber awal KBBI sendiri berasal dari empat sumber, yakni Kamus Indonesia oleh E. St. Harahap (1942), Kamus Modern Bahasa Indonesia oleh Sutan Mohammad Zain (1951), Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh W.J.S Poerwadarminta (1953), dan Kamus Bahasa Indonesia oleh Pusat Bahasa (1983).
Baca: Majukan Bahasa dan Sastra Indonesia, Ini Produk Literasi yang Dirilis Kemendikbud
KBBI pun terus menerus diperbaharui. KBBI II diluncurkan pada tahun 1991 dengan 72.000 entri, KBBI III pada tahun 2000 dengan 78.000 entri, KBBI IV keluar pada tahun 2008 dengan 90.049 entri, hingga KBBI V diluncurkan pada tahun 2016 dengan 110.538 entri dan pemutakhiran terakhir dilakukan pada April 2019.
Strategi Pemutakhiran KBBI
Untuk pemutakhiran KBBI sendiri ada strategi yang biasanya dilakukan, mulai dari isi yang terdiri dari penambahan jumlah kosakata dan makna, kata budaya dari bahasa daerah, nama geografis, nama tokoh, nama peristiwa, singkatan, ungkapan, serta melakukan perbaikan dalam isi yang ada.
Sedangkan cara kerja sendiri terdiri dari bekerja dari jarak jauh, nirkertas (paperless), waktu seketika (real time), langsung konversi ke cetak, dan metode urundaya (crowdsourcing) yang berupa usulan dari penggunan.
Tak cuma berbentuk buku saja, cara penyajian KBBI juga beragam. KBBI hadir dalam versi cetak, versi daring (28 Oktober 2016), aplikasi di Android (November 2016), iOS (Desember 2016), KBBI Braille cetak yang terdiri dari 138 jilid dan diluncurkan pada tahun 2018, dan KBBI Disnetra yakni aplikasi luring audio yang diluncurkan pada tahun 2019.
Jenis-Jenis Kamus
Kamus sendiri dibagi berdasarkan kategori seperti ukuran, bahasa, kamus umum, kamus khusus/bidang ilmu.
Berdasarkan ukurannya, kamu dibagi menjadi tiga, yakni kamus besar, kamus ringkas, dan kamus saku. Sedangkan berdasarkan bahasa yang digunakan, kamus dibagi menjadii kamus ekabahasa, kamus dwibahasa, kamus semi-dwibahasa, dan kamus multibahasa.
Jika dilihat dari perspektif waktu, kamus dibagi menjadi dua yakni kamus sinkronis dan kamus diakronis. Sedangkan dari perspektif penggunaannya, kamus terdiri dari kamus alfabetis dan kamu tematis; kamus deskriptif, kamus preskriptif, dan kamus proskriptif; kamus aktif/produktif dan kamus pasif/reseptif.
Berdasarkan kategori penyajian, terdiri dari kamu cetak dan kamus elektronik, baik kamu daring (online) maupun kamus luring (offline).
Selain itu, kamus dapat disajikan dalam satu arah (kamus unidireksional) dan dua arah (kamus bidireksional).
Cara Sebuah Kata Masuk ke KBBI
Lantas seperti apa sebuah kata bisa masuk ke dalam KBBI? Ternyata untuk menjadi ‘warga’ KBBI, sebuah kata harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia secara sematis, leksikal, fonetis, pragmatis, dan penggunaan (usage). Persyaratan tersebut diwakili oleh hal berikut, seperti:
Unik
Kata yang diusulkan, baik berasal dari bahasa daerah atau asing, harus memiliki makna yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut akan berfungsi menutup rumpang, kekosongan makna dalam bahasa Indonesia. Contohnya tinggimini, yaitu sebuah tradisi beberapa suku di Papua, seperti Muyu dan Dani berupa pemotongan jari tangan untuk menunjukkan kekecewaan atau duka mendalam atas meninggalnya salah satu anggota keluarga yang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan.
Eufonik (sedap didengar)
Kata yang disusulkan tidak mengandung bunyi yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia atau dengan kata lain sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia. Persyaratan ini dimaksudkan agar kata tersebut mudah dilafalkan oleh penutur bahasa Indonesia dengan beragam latar bahasa ibu, contohnya akhiran /g/ dalam bahasa Betawi/Sunda/Jawa menjadi /k/ dalam bahasa Idonesia atau fonem /eu/ dalam bahasa Sunda menjadi /e/ dalam bahasa Indonesia.
ojeg > ojek
keukeuh > kekeh
Seturut kaidah bahasa Indonesia. Kata tersebut dapat dibentuk dan membentuk kata lain dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan.
kundur > (ter)kunduri
Tidak Berkonotasi Negatif
Kata yang memiliki konotasi negatif tidak dianjurkan masuk karena kemungkinan tidak berterima di kalangan pengguna tinggi, misalnya beberapa kata yang memiliki makna sama yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Dari beberapa kata tersebut, yang akan dipilih untuk masuk ke dalam KBBI adalah kata yang memiliki konotasi lebih positif.
Kata lokalisasi dan pelokalan, misalnya, memiliki makna sama. Bentuk terakhir lebih dianjurkan karena memiliki konotasi yang lebih positif. Konotasi tersebut dapat dilihat dari sanding kata yang mengikuti setiap kata tersebut. Contoh dari korpus Wortschatz berikut dapat menjelaskan hal tersebut.
Kerap Dipakai
Kekerapan pemakaian sebuah kata diukur menggunakan frekuensi (frequence) dan julat (range). Frekuensi adalah kekerapan kemunculan sebuah kata dalam korpus, sedangkan julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah.
Sebuah kata dianggap kerap pakai kalau frekuensi kemunculannya tinggi dan wilayah kemunculannya juga tersebar secara luas, contohnya kata bobotoh yang ketersebaran penggunaannya meluas di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi serta frekuensi kemunculannya juga tinggi. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa laman seperti Googletrends dan Google search.