KPAI Sikapi Putusan MA Soal Pembatalan SKB 3 Menteri Tentang Penggunaan Seragam di Sekolah
Mahkamah memutuskan SKB 3 Menteri tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyikapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang penggunaan seragam di sekolah.
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, pihaknya menyayangkan keputusan Majelis Hakim atas uji materi yang membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB 3) Menteri tersebut.
Namun begitu, pihaknya menghormati keputusan Majelis Hakim MA yang menangani perkara ini.
SKB 3 Menteri tersebut, berisi tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Pihaknya mendukung SKB 3 Menteri tersebut dengan tujuh pertimbangan.
"Pertama, SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan hanya berlaku di Lingkungan Sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah sudah tepat," kata Retno ketika dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (9/5/2021).
Baca juga: Mahkamah Agung Batalkan SKB Mendikbud-Menag-Mendagri soal Seragam Sekolah
Karena peserta didik yang bersekolah di sekolah negeri berasal dari berbagai suku maupun agama yang berbeda, kata dia, sehingga sangat tidak tepat jika di sekolah negeri mengatur ketentuan penggunaan seragam sekolah dengan didasarkan pada agama tertentu.
Baca juga: HNW: SKB 3 Menteri Tidak Sesuai Prinsip Hukum dan Layak Dikoreksi
Kedua, penyelenggaran pendidikan di sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah sudah seharusnya memperkuat nilai-nilai kebangsaan, persatuan dan kesatuan, serta tempat menyemai keragaman.
Baca juga: SKB 3 Menteri Soal Seragam Tidak Berlaku untuk Murid Madrasah
Sekolah negeri, kata Retno, memiliki peran penting dan tanggung jawab dalam menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Ketiga, kata dia, pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah (pemda) merupakan salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama.
Menurut KPAI, hal tersebut sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
"Di mana Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan di sekolah harus demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa," kata Retno.
Keempat, kata dia, mendidik perilaku yang baik kepada anak-anak harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan didasarkan pada kesadaran dirinya bukan atas dasar paksaan, termasuk mendidik mengenakan jilbab atau menutup aurat.
Namun, lanjutnya, kesadaran dibangun melalui proses dialog memberikan pengetahuan, memberikan kebebasan memutuskan dan orang dewasa di sekitar anak memberikan contoh (role model).
Kelima, kata dia, anak perempuan seharusnya diberikan kebebasan dalam menentukan apa yang dikenakan.
Ketentuan dalam SKB 3 Menteri tersebut, kata Retno, secara prinsip mengatur bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
"Dengan kata lain, hak untuk memakai atribut keagamaan merupakan wilayah individual. Individu yang dimaksud adalah guru, murid, dan orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut," kata Retno.
Keenam, kata Retno, SKB 3 Menteri tersebut sudah sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak di mana ketentuan SKB menjamin bahwa Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Artinya, lanjut dia, peserta didik maupun pendidik yang sudah mengenakan jilbab karena kesadaran dan keinginannya sendiri dapat menggunakan jilbab.
"Bagi yang belum siap mengenakan atau tidak bersedia mengenakan jilbab juga diperbolehkan," kata dia.
Ketujuh, lanjut Retno, ketentuan SKB 3 Menteri yang tidak mewajibkan dan tidak melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama sejalan dengan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” sebagaimana diamanatkan dalam Kovensi Hak Anak (KHA).
Menurut KPAI, kebijakan tersebut akan sangat berdampak positif bagi tumbuh kembang anak, terutama anak-anak perempuan, baik secara fisik maupun mental.
Berdasarkan hasil pengawasan KPAI terhadap anak-anak korban, kata Retno menunjukkan ada beberapa kasus yang menunjukan anak-anak perempuan mengalami bullying dalam bentuk kekerasan verbal dan kekerasan psikis karena tidak menggunakan jilbab.
Contohnya, kata dia, kasus seorang siswi di SMAN 1 Sragen, Jawa Tengah yang mengalami pembullyan oleh kakak kelasnya lantaran tak berjilbab, baik kekerasan verbal secara langsung maupun cyber bully melalui media social.
"Korban akhirnya memilih pindah sekolah, karena mengalami trauma," kata Retno.
Selain itu, KPAI juga memcatat ada puluhan kasus anak perempuan yang mengalami gangguan kesehatan mental dan mendapatkan dukungan pemulihan dari psikolog Jabar Masagi di mana anak-anak perempuan tersebut menjadi tidak percaya diri, bahkan depresi dan hendak melakukan percobaan bunuh diri.
Puluhan anak-anak tersebut, kata Retno, juga mengalami pembullyan dari lingkungannya akibat tidak berjilbab, bahkan menjadi cemas karena ada ancaman bahwa kalau dia tidak berjilbab akan menyeret ayahnya dan saudara laki-lakinya ke neraka.
Mereka, kata dia, juga tertekan karena dinilai belum dapat hidayah dalam berpakaian dan dianggap bukan wanita baik-baik.
"Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, KPAI mendorong Kemdikbudristek, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri untuk terus mencari jalan lain demi melindungi anak-anak perempuan Indonesia dari pemaksaan maupun pelarangan mengenakan seragam sekolah dan atribut kekhasan agama di Sekolah-sekolah Negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah," kata Retno.
Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
MA memerintahkan Menteri Agama (termohon I), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (termohon II) dan Menteri Dalam Negeri (termohon III) mencabut SKB tersebut karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Putusan pengabulan itu terkait perkara nomor 17 P/HUM/2021 yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat.
Majelis hakim yang mengadili perkara ini diketuai oleh Yulius dengan hakim anggota masing-masing Irfan Fachrudin dan Is Sudaryono.
Menurut Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, MA menilai SKB tersebut bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kemudian juga melanggar UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Objek keberatan hak uji materi berupa SKB Nomor 2/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021 tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemda pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah dikabulkan," kata Andi dalam keterangannya, Jumat (7/5/2021).
Mahkamah memutuskan SKB 3 Menteri tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan mengatakan, pihaknya masih akan mempelajari putusan uji materi tersebut.
Sebab, menurut dia, hingga Kamis (6/5/2021) Kemendagri belum menerima salinan putusan dari MA, jika salinan sudah diterima, akan dibahas dan dikonsultasikan dengan tim hukum serta Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri.
Pasalnya SKB tersebut melibatkan tiga menteri berbeda dan tindak lanjut dari putusan itu akan didiskusikan lebih lanjut dengan menteri lain yang terkait.
"Saya sudah mendengar soal putusan itu. Namun, untuk saat ini, tindak lanjutnya (putusan MA) belum ada," ujar Benni.