Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kunci Jawaban Sejarah Kelas 12 SMA Halaman 103 dan 104 Kurikulum Merdeka: Asesmen Soal Esai

Simak inilah kunci jawaban Sejarah Kelas 12 SMA halaman 103 dan 104 Kurikulum Merdeka pada BAB 2 Demokrasi Liberal hingga Masa Demokrasi Terpimpin.

Penulis: Lanny Latifah
Editor: Tiara Shelavie
zoom-in Kunci Jawaban Sejarah Kelas 12 SMA Halaman 103 dan 104 Kurikulum Merdeka: Asesmen Soal Esai
Canva/Tribunnews.com
Kunci jawaban Sejarah Kelas 12 SMA - Berikut kunci jawaban Sejarah Kelas 12 SMA halaman 103 dan 104 Kurikulum Merdeka pada BAB 2 Demokrasi Liberal hingga Masa Demokrasi Terpimpin. 

TRIBUNNEWS.COM - Berikut kunci jawaban Sejarah Kelas 12 SMA halaman 103 dan 104 Kurikulum Merdeka.

Kunci jawaban soal ini terdapat dalam Buku Sejarah untuk SMA/MA Kelas XII yang ditulis oleh Indah Wahyu Puji Utami, dkk.

Dalam artikel ini terdapat kunci jawaban soal yang ada pada halaman 103 104 BAB 2 Demokrasi Liberal hingga Masa Demokrasi Terpimpin (1950 - 1966).

Soal tersebut ada pada bagian Asesmen Soal Esai.

Kunci jawaban ini ditujukan kepada orang tua atau wali sebagai pedoman dalam mengoreksi hasil belajar anak.

Sebelum melihat kunci jawaban berikut, siswa harus terlebih dahulu menjawab soal sendiri.

Selengkapnya, inilah kunci jawaban Sejarah Kelas 12 SMA halaman 103 dan 104 Kurikulum Merdeka yang Tribunnews.com kutip dari Buku Guru dan Siswa serta beberapa sumber lainnya:

ASESMEN

Soal Esai

BERITA REKOMENDASI

1. Perhatikanlah sumber foto dan narasi berikut!

Gambar 2.20 Delegasi Kowani
Gambar 2.20 Delegasi Kowani (Kongres Wanita Indonesia) dalam Konferensi Perempuan Asia Afrika tahun 1958 di Colombo. Dari kiri ke kanan: Nani Soewondo, S.K. Trimurti, Soehartini, Maria Ulfah Santoso, Hurustiati Soebandrio, Nyonya Soejono Prawirobismo, Nyonya Ilyas Sutan Pangeran, dan Kartini K. Radjasa.

Pergerakan perempuan dalam kancah internasional makin terdengar gaungnya pasca-Konferensi Asia-Afrika pada 1955. Pada Konferensi Solidaritas Asia-Afrika di Kairo pada 1957, isu-isu perempuan pertama kali dibahas. Pada konferensi itu, Maria Ulfah Santoso menjadi ketua delegasi Indonesia. Kala itu, ia adalah ketua Kowani atau Kongres Wanita Indonesia, sebuah badan kontak yang menghimpun organisasi-organisasi wanita di Indonesi, dan merupakan salah satu inisiator kunci dari Konferensi Perempuan Asia-Afrika pada 1958.

Konferensi yang terinspirasi oleh Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung ini mempertemukan dan mendiskusikan bersama masalah-masalah mendasar yang dialami oleh perempuan dan anak di negara-negara Asia dan Afrika. Kongres Wanita Indonesia menjadi salah satu dari lima inisiator konferensi, di samping Women’s Welfare League of Union of Burma, The All Ceylon Women’s Conference, The All India Women’s Conference, dan All Pakistan Women’s Association. Sebanyak 120 delegasi dari 18 negara Asia dan Afrika hadir. Mereka mendiskusikan enam tema sentral, yaitu kesehatan, pendidikan, wanita dan kewarganegaraan, perbudakaan serta perdagangan wanita dan anak, masalah perburuhan, dan kerjasama erat di antara wanita Asia dan Afrika.

Dikutip dari: Utama, W.S. (2022). “Maria Ulfah dan Dunia Poskolonial Asia yang Humanis” dalam Tirto.id. https://tirto.id/maria-ulfah-dan-dunia-poskolonial-asia-yang-humanis-gpFC.

Baca juga: Kunci Jawaban Matematika Kelas 8 Halaman 112 Kurikulum Merdeka, Soal Latihan 3.1, Bab 3

Dengan mempertimbangkan foto dan kutipan di atas, analisislah posisi dan peran para aktivis dan organisasi Kowani dalam konstelasi pergerakan perempuan Asia Afrika di tengah Perang Dingin!

Kunci Jawaban:

Foto tersebut memperlihatkan delapan orang anggota atau aktivis Kowani yang menjadi delegasi Indonesia pada Kongres Perempuan Asia-Afrika 1958 di Colombo. Pada foto itu, mereka terlihat mengenakan kebaya, kain batik, atau kain tenun tas, sanggul, dan dandanan yang rapi. Para perempuan ini terlihat percaya diri dengan identitasnya sebagai perempuan Indonesia. Para perempuan ini juga merupakan sebagian kecil dari perempuan Indonesia yang mengeyam pendidikan dan memiliki jaringan yang baik sehingga berkesempatan untuk mewakili Kowani dan Indonesia dalam konferensi yang penting di Asia dan Afrika.

Para perempuan ini termasuk perempuan yang progresif atau berpikiran maju pada zamannya. Kowani memainkan peranan penting dalam pergerakan perempuan di masa ini melalui keterlibatannya sebagai salah satu inisator Kongres Perempuan Asia-Asfrika pertama. Di tengah segala keterbatasan dan posisi perempuan saat itu yang masih dipandang sebelah mata, para perempuan ini mendiskusikan masalah-masalah penting dan masih relevan di masa kini, di antaranya masalah kesehatan, pendidikan, wanita dan kewarganegaraan, perbudakaan dan perdagangan wanita dan anak, masalah perburuhan, dan kerjasama erat di antara wanita Asia dan Afrika.

Penting untuk dicermati, dalam situasi Perang Dingin dan perebutan pengaruh di antara Blok Barat dan Blok Timur, posisi perempuan masih dianggap lebih rendah dari laki-laki. Melalui Kongres Perempuan Asia-Afrika, para perempuan ini menunjukkan bahwa perempuan Asia-Afrika memiliki solidaritas tinggi dan memainkan peran penting dalam mendorong berbagai diskusi terkait dengan berbagai masalah terkait perempuan.

2. Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi perpecahan di antara dwitunggal Sukarno-Hatta karena perbedaan pandangan politik. Mengapa Hatta tidak sepakat dengan Sukarno mengenai Demokrasi Terpimpin?

Kunci Jawaban:

Hatta adalah tokoh pergerakan nasional Indonesia yang sangat giat memperjuangkan terwujudnya demokrasi rakyat di Indonesia. Bagi Hatta, kemerdekaan Indonesia berarti berakhirnya “daulat tuan” dan dimulainya “daulat rakyat” yang diwujudkan dalam parlemen yang demokratis. Oleh karenanya, Hatta tidak sejalan dengan Demokrasi Terpimpin yang memusatkan kekuasaan di tangan Sukarno. Demokrasi Terpimpin memberikan kesempatan pada Sukarno untuk menjadi penguasa yang otoriter dan bertentangan dengan ide Hatta mengenai demokrasi.

3. Selama periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin terjadi banyak pergolakan daerah. Mengapa hal ini terjadi?

Kunci jawaban:

Beberapa konflik atau pergolakan daerah yang terjadi di Indonesia selama periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin berakar dari gejolak yang terjadi di masa sebelumnya, yaitu revolusi fisik. Permasalahan yang tidak terselesaikan turut berkontribusi pada pergolakan daerah di masa Demokrasi Liberal hingga Demokrasi Terpimpin, misalnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Selain itu, pada periode 1950-an, Indonesia sedang berusaha untuk bangkit dan membangun negeri setalah revolusi. Namun, pembangunan itu masih terkonsentrasi pada Pulau Jawa. Hal ini menimbulkan kecemburuan dari daerah luar Jawa yang sebenarnya ikut menyumbang keuangan negara tapi kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat. Ketimpangan dan ketidakharmonisan hubungan antara pusat dan daerah ini memicu konflik dan pemberontakan daerah, misalnya dalam peristiwa PRRI/Permesta. Selain itu, periode ini juga ditandai oleh polarisasi kekuatan dan ideologi yang membuat situasi politik memanas serta menimbulkan konflik serta pemberontakan.

Baca juga: Kunci Jawaban IPS Kelas 7 SMP Halaman 88 89 Kurikulum Merdeka, Tema 2 Keberagaman Lingkungan Sekitar

4. Bahasa Belanda tidak lagi diajarkan di sekolah sejak tahun ajaran 1951 setelah diberlakukannya UU Pendidikan dan Pengajaran tahun 1950. Mengapa hal ini terjadi?

Kunci jawaban:

Setelah berakhirnya revolusi nasional serta pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, pemerintah Indonesia berusaha menata berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk pendidikan. Pada masa ini pemerintah berusaha menata pendidikan yang bercorak nasional dan berkebudayaan Indonesia serta menghilangkan pengaruh kolonial. Oleh karenanya, dalam UU Pendidikan dan Pengajaran tahun 1950, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar yang digunakan di sekolah dan bahasa Belanda tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia sejak 1951.

5. G30S/PKI merupakan salah peristiwa yang kontrovesial dalam sejarah Indonesia. Bagaimanakah cara kalian menyikapi kontroversi seperti ini?

Kunci jawaban:

Kontroversi G30S/PKI terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dan subyektivitas sejarawan. Dalam menyikapi hal ini, sebaiknya kita harus berpikir kritis dan membandingkan satu versi dengan lainnya, serta mengecek sumber yang digunakan beserta perdapat dari versi yang berbeda. Dengan demikian kita akan dapat memiliki pandangan dan pengetahuan yang lebih luas dan berhati-hati dalam memahami sejarah.

*) Disclaimer: Jawaban di atas hanya digunakan oleh orang tua untuk memandu proses belajar anak.

Sebelum melihat kunci jawaban, siswa harus terlebih dahulu menjawabnya sendiri, setelah itu gunakan artikel ini untuk mengoreksi hasil pekerjaan siswa.

(Tribunnews.com/Latifah)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas