Praktisi Pendidikan: Berpikir Kritis dan Riset Mendalam Tak Bisa Digantikan oleh Kecerdasan Buatan
Gunawan juga mengingatkan, pendidikan mengutamakan human excellence dan harus melibatkan kedalaman intelektual dan spiritual. Ia juga mendorong siswa
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Acos Abdul Qodir

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Survei McGee menyebutkan, 89 persen mahasiswa di Amerika Serikat menggunakan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) Chat GPT untuk menyelesaikan tugas mereka.
Dari jumlah itu 53 persen di antaranya memanfaatkan alat ini untuk menulis esai.
Direktur Kolese Kanisius, Thomas Gunawan mengatakan, meskipun penggunaan AI menunjukkan peningkatan nilai, namun berpikir kritis dan riset yang mendalam tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan.
"Dengan IQ Chat GPT yang diperkirakan mencapai 155, teknologi ini tidak boleh mengurangi kualitas pendidikan," kata Gunawan di sela-sela acara tahunan Canisius Exhibition of Learning Experience (C-XLENCE) 2025, yang diadakan di Kolese Kanisius Jakarta pada 10–12 Februari 2025.
Gunawan juga mengingatkan, pendidikan mengutamakan human excellence dan harus melibatkan kedalaman intelektual dan spiritual.
Ia juga mendorong siswa untuk menulis riset.
"Proses penulisan riset yang ilmiah, terstruktur, dan holistik sehingga para siswa dapat mengasah keterampilan kepemimpinan dan presentasi," katanya.
Baca juga: Guru MAN 1 Lamongan yang Gebrak Meja saat Siswa Protes soal SNBP Dicopot dari Jabatannya
Tidak hanya itu, kebiasaan menulis riset bisa meningkatkan kemampuan berpikir kritis, yang akan membantu menjadi pribadi otentik dan pemimpin yang siap menghadapi tantangan di masa depan.
Terkait tema Learning Through Authenticity dalam C-XLENCE kali ini, Gunawan berharap para siswa tetap belajar melalui berbagai media dan sumber informasi tanpa kehilangan ciri khas individu mereka terutama dalam menghadapi kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin berkembang.
Dalam konteks ini, pembelajaran autentik sangat penting agar siswa dapat belajar melalui proses pengamatan langsung, mengalami sendiri, dan menarik kesimpulan tanpa tergantung sepenuhnya pada opini atau teknologi.
Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Pusat, Ujang Hermawan, mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh para siswa sudah setara dengan tingkat pendidikan S1.
Ia berharap penelitian ini dapat menghasilkan temuan yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti inovasi dalam bidang kesehatan, termasuk penelitian terkait obat untuk diabetes.
Tahun ini, C-XLENCE 2025 diikuti oleh 179 siswa kelas 9 yang terbagi dalam 55 kelompok, serta 273 siswa kelas 12 yang terbagi dalam 88 kelompok.
Para siswa akan mempresentasikan hasil penelitian mereka di berbagai ruang dan melakukan sesi tanya jawab dengan para guru penguji.
Baca juga: Ahli Kecerdasan Buatan Sony Subrata: Indonesia Harus Temukan Keunggulan Strategis dalam Ekosistem AI
Pada C-XLENCE 2025, siswa Kolese Kanisius menunjukkan hasil penelitian yakni untuk kelas 9, sebanyak 179 siswa terbagi dalam 55 kelompok, dengan 25 kelompok memilih tema seputar sosial-humaniora dan 30 kelompok memilih tema terkait sains.
Adapun distribusi tema penelitian sains meliputi biologi murni (37 persen), energi alternatif (27%), kesehatan (13%) dan berbagai topik lainnya (23%).
Sementara itu, untuk non kategori sosial-humaniora, penelitian yang dilakukan mencakup performa akademik siswa (36%), pengaruh penggunaan media sosial (20%) dan topik lainnya sebesar 44 persen.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.