Kursi Putih dan Non Putih
Noda apartheid memang memberi banyak pelajaran berharga bagi bangsa Afrika Selatan (Afsel)
Editor: Tjatur Wisanggeni
TRIBUNNEWS.COM -- Noda apartheid memang memberi banyak pelajaran berharga bagi bangsa Afrika Selatan (Afsel). Semena-mena dan rasa menang sendiri menjadikan bangsa kulit putih begitu arogan serta dominan. Sementara non-putih, harus menerima nasib tak mengenakkan, selalu menjadi pesakitan dan buruh. Tak pernah menang dalam urusan politik apalagi di mata hukum.
Tak heran kalau segala memorabilia terkait masa kelam itu tak pernah hilang, agar generasi mendatang sadar, sejarah kelam itu tak boleh terulang lagi. Seperti yang secara tak sengaja Tribun temukan saat berjalan menyusuri Queen Victoria Street, tepat di lajur Utara taman kota Cape Town.
Usai memarkir mobil di area umum, perjalanan sejatinya akan dilanjutkan museum District Six, yang berjarak 200 meter dari lokasi parkir. Menyusuri Queen Victoria Street, selain taman kota, ada juga pusat perpustakaan nasional Afsel, dan semacam kantor Departemen Hak dan Asasi Manusia.
Namun sebelum masuk ke area museum, tepat di depan pintu utama pengadilan, ada sesuatu yang sangat menarik perhatian. Jika dilihat sepintas, tak ada yang istimewa dengan dua buah kursi warna coklat yang tepat di tengah trotoar. Bentuknya yang sangat kuno, dengan warna yang sangat kusam, pastilah membuat siapa pun tak akan melirik.
Namun justru karena rasa penasaran yang tinggi, apalagi hanya kursi kayu itu saja yang ada sehingga cukup janggal di tengah jalan yang modern, Tribun pun menyambangi dua kursi tersebut. Dan semua feeling pun terbukti, karena ternyata dua kursi itu menyimpan sejarah teramat tinggi bagi perjuangan menenggelamkan politik apartheid.
Dua kursi tersebut adalah bukti adanya pemisahan dan ketidaksejajaran antara orang kulit putih dan non-putih. Di kursi yang terletak di sisi kanan pintu pengadilan, terdapat tulisan besar `NON-WHITES ONLY". Kalimat tersebut merujuk pada tatanan pemisahan bagi orang non-kulit putih yang berurusan dengan hukum.
Sementara di sisi lain, terdapat kursi serupa dengan tulisan `WHITES ONLY'. Tulisan di bagian atas papan menggambarkan, kalau saat apartheid masih berlangsung, pesakitan dari kulit putih diutamakan terlebih dulu untuk masuk ke ruang sidang. Sementara `penjahat' berkulit selain putih, baik colourd maupun hitam, harus menunggu sampai urusan si kulit putih selesai. Kabarnya, hukuman bagi selain kulit putih jauh lebih berat ketimbang pemilik kulit putih.
Melihat dua kursi tersebut berada di depan pintu pengadilan, membuat bayangan masa lalu berkelebat cepat. Politik apartheid yang menguasai Afsel kala itu, benar-benar membuat sebuah perbedaan mendasar, pada semua sisi, termasuk di dalamnya sistem pengadilan. (*)