Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Selebrasi Lokal 2022

Mission Impossible

Setelah penantian panjang selama 64 tahun, Wales kembali lolos ke Piala Dunia untuk yang kedua kalinya.

Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Mission Impossible
AFP/GIUSEPPE CACACE
Suporter Timnas Wales bersorak untuk tim mereka dalam laga sepak bola Grup B Piala Dunia 2022 Qatar antara Wales melawan Iran di Stadion Ahmad Bin Ali, di Al-Rayyan, sebelah barat Doha, Qatar, Jumat (25/11/2022) waktu setempat. AFP/GIUSEPPE CACACE 

Oleh Willy Kumurur, penikmat bola

Jika sesuatu layak dilakukan, itu layak dilakukan dengan baik.

Jika sesuatu itu berharga, maka layak untuk ditunggu.

Jika layak untuk diraih, maka layak untuk diperjuangkan.

Jika sesuatu itu layak untuk dialami, maka sisihkan waktu untuk itu.

Demikian tulis penyair Irlandia, Oscar Wilde.

Itulah yang dilakukan Wales. Mereka tampil perdana di Piala Dunia FIFA pada edisi Piala Dunia 1958 di Swedia.

Berita Rekomendasi

Setelah itu, mereka tak lagi sanggup lolos dari babak kualifikasi selama puluhan tahun.

Mereka terus merindukan untuk bisa hadir di pentas Piala Dunia. Tetapi, kerinduan tetap kerinduan.

Berpuluh-puluh tahun Wales tak sanggup menembus ketatnya persaingan untuk sampai ke panggung Piala Dunia.

Mereka pun hidup dari rindu ke rindu; dan rindu itu laksana belantara tanpa ujung.

Namun pada akhirnya, setelah penantian panjang selama 64 tahun, Wales kembali lolos ke Piala Dunia untuk yang kedua kalinya.

Semua datang pada waktunya bagi dia yang tahu bagaimana menunggu, tutur penulis mashyur Rusia, Leo Tolstoy.

"Untuk berada di salah satu panggung olahraga terbesar di dunia, sangatlah penting bagi Wales yang berpenduduk 3 juta orang. Kami telah menunggu selama 64 tahun," kata Menteri Pertama dan Pemimpin Buruh Wales, Mark Drakeford, pejabat politik terkemuka di negara tersebut, sebagaimana diberitakan oleh harian The Washington Post.

Mendiang sejarawan Inggris, Eric Hobsbawm, pernah mengungkapkan betapa pentingnya turnamen sepak bola besar seperti Piala Dunia.

“Apa yang membuat sepak bola begitu efektif sebagai media untuk menanamkan nasionalisme?” tanyanya dalam buku karyanya tahun 1992 Nations and Nationalism.

Ia menjawab pertanyaannya sendiri, “…..adalah bahwa jutaan komunitas yang dibayangkan nampak lebih nyata dalam tim yang meliputi sebelas orang yang nama-namanya disebutkan.”

Lebih dari olahraga lainnya, sepak bola adalah permainan global dan dengan demikian menjadi tumpuan semua jenis simbolis mepolitik dan mitos.

Para pemain yang membentuk skuad suatu negara selalu berasal dari berbagai lapisan masyarakat, seringkali muncul dari latar belakang yang lebih miskin dan sulit untuk memenangkan ketenaran dan kekayaan global.

Bagi jutaan orang yang tak terhitung jumlahnya yang menyemangati mereka, mereka memikul beban yang berat.

"Sebelas orang yang bernama" ini mewujudkan kerinduan suatu bangsa akan prestise dan kecemasan atas kegagalan.

Inggris berkali-kali menguasai Wales dalam pertempuran di medan perang.

Rakyat Wales masih ingat ujaran Pangeran Wales, Cadwallader, yang diucapkan kepada Henry II, Raja Inggris di ujung abad ke-11, ”Bangsa ini, ya Raja, saat ini, seperti juga di masa lalu, dapat diusik dan, lebih dari itu dilemahkan dan dihancurkan olehmu dan oleh kekuatan lain; dan bangsa ini akan sering menang karena usaha keras yang patut dipuji. Tetapi, bangsa ini tidak akan pernah dapat sepenuhnya dikalahkan oleh keangkaraan manusia, kecuali jika murka Tuhan datang.”

Di akhir abad ke-20, ketegangan akhirnya memudar tatkala Inggris mengizinkan dewan perwakilan yang terpisah untuk Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales.

Kisah keberhasilan Wales untuk sampai di Piala Dunia tak dapat dipisahkan dari perjalanan yang sarat kegelisahan sendiri sebagai sebuah bangsa.

“Kebangkitan Wales sebagai kekuatan sepak bola Eropa selama dekade terakhir juga bertepatan dengan kebangkitan kembali bangsa dari dekade, bahkan berabad-abad penindasan politik dan budaya, yang sebagian besar disebabkan oleh diri sendiri,” tulis Dave Sheinin dari The Washington Post.

“Kedua garis tren itu secara praktis dapat dipertukarkan: karena kesuksesan tim mewujudkan kebangkitan nasionalisme Wales, kehausan warga akan pengakuan dari luar akan keunikan Wales yang terbungkus dalam kekayaan olahraga dari pemain sepak bola.”

Karena itu pula kolumnis The Guardian, Elis James, menulis judul dalam kolomnya: Revolusi sepak bola Wales lahir dari air mata, kebanggaan, budaya fans, dan sejarah kaum radikal.

Setelah kerinduan untuk tampil di Piala Dunia terpenuhi, Wales belum menunjukkan tajinya.

Berlaga di Grup B, Wales ditahan imbang oleh tim Amerika Serikat, 1-1, dan kemudian dihajar 0-2 oleh Iran.

Dini hari nanti, Wales akan menghadapi tetangganya Inggris, super power sepak bola di United Kingdom yang memuncaki klasemen sementara grup B. Sebuah mission impossible.

Stadion Ahmad bin Ali adalah “medan pertempuran” antara pasukan Wales yang dipimpin oleh Rob Page menghadapi Inggris yang diasuh oleh Gareth Southgate.

Kekalahan akan menyingkirkan Wales dari arena Piala Dunia 2022.

Sanggupkah mereka mengatasi gempuran pasukan Inggris?****

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Klasemen
Group A
Tim
P
1
Belanda
7
2
Senegal
6
3
Ecuador
4
4
Qatar
0
Group B
Tim
P
1
Inggris
7
2
Amerika serikat
5
3
Iran
3
4
Wales
1
Group C
Tim
P
1
Argentina
6
2
Poland
4
3
Mexico
4
4
Saudi Arabia
3
Group D
Tim
P
1
Prancis
6
2
Australia
6
3
Tunisia
4
4
Denmark
1
Group E
Tim
P
1
Jepang
6
2
Spanyol
4
3
Jerman
4
4
Costa Rica
3
Group F
Tim
P
1
Morocco
7
2
Croatia
5
3
Belgia
4
4
Canada
0
Group G
Tim
P
1
Brazil
6
2
Swiss
6
3
Cameroon
4
4
Serbia
1
Group H
Tim
P
1
Portugal
6
2
Korea Selatan
4
3
Uruguay
4
4
Ghana
3
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas