Karding: Jangan Lupa, Soeharto Diturunkan pada 1998 karena KKN
Karding meminta Partai Berkarya dan para pendukung Capres Prabowo yang mengikuti dan mendorong reformasi untuk tidak melupakan sejarah.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin, Abdul Kadir Karding mengatakan bahwa pernyataan Sekjen PSI Raja Juli Antoni dan politisi PDIP Ahmad Basarah terkait korupsi Orde Baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan semangat reformasi.
“TAP MPR Bomor 11 Tahun 1998 merupakan amanat reformasi bagi penyelenggaran pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Keluarnya Tap MPR Nomor 11 tahun 1998 merupakan bukti bahwa bagaimana KKN mengakar di Indonesia di era pemerintahan Soeharto,” kata Karding, Sabtu (1/12/2018).
Pernyaaan Karding itu untuk menanggapi Partai Berkarya, partai yang didirikan tommy Soeharto, putra bungsu Soeharto, yang akan mengadukan Sekjen PSI Raja Juli Antoni dan politisi PDIP Ahmad Basarah ke polisi.
Baca: Karding : Presiden Ingin Baiq Nuril Mendapat Keadilan Hukum Tanpa Intervensi
Raja Juli dan Ahmad Basarah mengatakan pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto penuh KKN.
Karding meminta Partai Berkarya dan para pendukung Capres Prabowo yang mengikuti dan mendorong reformasi untuk tidak melupakan sejarah.
“Pak Harto diturunkan pada 1998 karena KKN. Kami menolak lupa sejarah,” ucap Karding uang juga politisi PKB itu.
Karding melihat narasi bahwa bahwa Soeharto merupakan sosok yang sederhana bukan menjadi pembelaan dan menolak lupa sejarah.
“Bagaimana keluarga dan kerabat Soeharto menguasai hampir seluruh lini bisnis di negara ini pada era Orde baru dan jangan dilupakan bahwa Soeharto sebagai Presiden pasang badan apabila ada yang mengganggu bisnis kerabat dan anak-anak,” kata Karding.
Karding mencontohkan monopoli cengkeh melalui BPPC (Badan Penangga dan Pemasaran Cemgkeh) okeh Tommy Soeharto, juga penyalahgunaan uang negara oleh Yayasan Super Semar.
“Pemerintahan Presiden Jokowi melalui Kejaksaan Agung terus memburu aset Yayasan Suoer Semar untuk disita negara,” pungkas Karding.