Beratnya Tugas Surveyor Lembaga Survei: Mimpi Angka dan Kotak Suara hingga Ancaman di Daerah Konflik
Berbagai macam kendala dihadapi saat pengiriman tim ke lapangan. Bukan hanya lokasi yang susah dijangkau, beberapa juga karena adanya intimidasi.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - CEO Cyrus Network, Hasan Nasbi menceritakan hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei untuk perolehan pasangan calon dalam Pemilu, bukanlah hal yang mudah.
Ada proses di balik layar dan membutuhkan waktu lebih dari satu bulan untuk pencanangan.
Bahkan, kata Hasan Nasbi, surveyor mereka sampai banyak yang bermimpi angka dan kotak suara sebelum hari H.
"Ada anak-anak surveyor kami tuh sampai mimpi angka loh. Mimpi angka, mimpi kotak suara itu banyak. Bayangkan, satu bulan lebih kita coding untuk menentukan random TPS. Itu isinya angka semua," jelas Hasan Nasbi saat acara Membuka Data Quick Count di Jakarta, Sabtu (20/4/2019).
Pelatihan relawan juga dilakukan selama satu atau dua minggu sebelum turun ke lapangan.
Saat pelatihan tersebut, pengunaan aplikasi serta hal-hal yang mendukung untuk mendapatkan hasil yang benar terus diajarkan.
Berbagai macam kendala dihadapi saat pengiriman tim ke lapangan.
Bukan hanya lokasi yang susah dijangkau, beberapa juga karena adanya intimidasi, ancaman dan ditempatkan di daerah konflik.
Baca: Sembilan Anggota Polri Meninggal saat Bertugas Selama Pemilu 2019, Ini Daftarnya
"Di Nias itu, belum bisa kami hitung sampai sekarang. Dari 2002 TPS yang kami tempatkan, ada satu yang belum masuk," ungkap Hasan Nasbi.
Hal serupa diungkapkan oleh Direktur Saiful Mujani Research Centre (SMRC), Deni Irvani yang menjelaskan, terdapat 93 TPS tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh mereka.
Dari 6 ribu TPS yang sudah ditentukan dengan metode random sampling, 93 TPS tersebut akhirnya dibatalkan.
"93 TPS ini ada di pedalaman Papua, daerahnya terlalu sulit dijangkau dan ada beberapa di antaranya yang ternyata daerah konflik. Sehingga, tidak memungkinkan untuk masuk lebih dalam," ujar Deni Irvani.
Hasil kerja mereka tersebut, semata bukan untuk satu atau dua agenda politik. Tetapi juga kepercayaan dari masyarakat hingga bertahun-tahun ke depan.
Selain itu, dari seluruh survei yang dilakukan oleh pihaknya, selisih suara dengan perhitungan resmi KPU tidak jauh berbeda.
SMRC juga mengatakan tidak memaksa pihak manapun untuk percaya pada hasil hitung cepat.
Tetapi, bukan kemudian menuduh mereka sebagai pihak yang melanggar demokrasi.
"Silakan saja kalau tidak percaya. Asal, jangan dituduh macam-macam lah," tegas Deni Irvani.
Guru Besar Statistik dan Rektor Universitas Al Azhar, Asep Saefudin mengatakan, asalkan metodologi yang dilakukan benar, hasil dari lembaga survei tidak akan jauh berbeda.
Berapapun sample TPS yang ditentukan, dengan data dan persebaran yang proporsional, maka dapat memenuhi kaidah penelitian.
Baca: PSI Nyatakan Akan Jadi Oposisi di DPRD DKI, Partai Nasdem Menyebutnya Gagal Paham
"Sebenarnya, tidak masalah dengan berapa banyak TPS. Asal benar metode dan cara yang dilakukan, hasilnya tidak jauh berbeda," kata Asep Saefudin.
Adanya anggapan pertanyaan selisih angka survei yang awalnya 20 persen sebelum pemilu dari BPN, tidak terlalu dipermasalahkan oleh Asep Saefudin.
Jelas dia, hasil survei selama masa kampanye, bisa dimanfaatkan oleh kedua kubu. Hal itu, dapat menjadi rujukan untuk memperbaiki situasi dan kondisi di lapangan.
"Hasil survei itu harusnya dimanfaatkan. Keduanya kan bisa memperbaiki kinerja, jika masih ada yang kurang," ujar Asep Saefudin. (amriyono/tribunnews)