Prediksi Putusan Sidang MK Pilpres 2019, Mahfud MD Sebut Hanya Kurang Satu yang Harus Dibereskan
Sebelum putusan sidang sengketa Pilpres 2019, Mahfud MD sebut hanya satu hal yang harus dibereskan
Penulis: Siti Nurjannah Wulandari
Editor: Daryono
Sebelum putusan sidang sengketa Pilpres 2019, Mahfud MD sebut hanya satu hal yang harus dibereskan
TRIBUNNEWS.COM - Sebelum putusan sidang sengketa Pilpres 2019, Mahfud MD sebut hanya satu hal yang harus dibereskan.
Jadwal putusan sidang sengketa Pilpres 2019 dipercepat menjadi Kamis (27/6/2019) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, putusan sidang sengketa Pilpres 2019 direncanakan akan digelar pada Jumat (28/6/2019) mendatang.
Perubahan jadwal tersebut berdasarkan keputusan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dilalukan pada Senin (24/6/2019) kemarin.
Sebelum hasil putusan sidang MK tersebut, Mahfud MD sebut hanya tinggal satu hal yang harus dibereskan.
Mahfud MD menjelaskan bagaimana prediksi hasil putusan MK soal sengketa Pilpres 2019.
Baca: Jadwal Putusan Sidang MK Pilpres 2019 Dipercepat, Reaksi Kubu Prabowo-Sandi hingga Permintaan KPU
Hal tersebut dijelaskan dalam wawancara di acara Fakta tvOne yang dibagikan di YouTube pada Talk Show tvOne pada Senin (24/6/2019).
"Tinggal satu hal kecil aja yang harus di 'clear' kan untuk sampai pada putusan, yaitu soal status Kyai Ma'ruf Amin sebagai dewan pengawas Syariah. Apakah itu pejabat BUMN atau bukan. Karena itu acuan hukumnya beda-beda," jelas mantan Ketua MK tersebut.
"Kalau putusan MA itu dipertimbangan hukumnya bukan di petitumnya, tapi dipertimbangan hukum disebut anak perusahaan tersebut bagian dari BUMN. Tapi di Undang-Undang tidak bilang begitu. Maka dari itu dulu saya pernah menguji ke MA sehingga MA kemudian menolak, tapi itu kan pengujian soal pemerintah ini kan soal Undang-Undang kalo MK," lanjut Mahfud MD.
Baca: PA 212 Akan Gelar Aksi di MK Sebagai Gerakan Keagamaan, Ini Reaksi BPN, Istana dan MK
Baca: Dialog: KPU Pertanyakan Validitas Data BPN Prabowo-Sandiaga
Kemudian Mahfud MD jelaskan jika tidak ada yang bisa dibuktikan.
"TSM maupun angka, kan gugatannya dua. Satu paslon 02 Prabowo-Sandi punya memperoleh suara 52 persen sementara Jokowi 48 persen. Itu kan tidak bisa dibuktikan sama sekali, buktinya apa. Jadi kuantitatif selesai, sudah tidak bisa diputuskan bahwa ada kesalahan angka," lanjut Mahfud MD.
Lebih lanjut Mahfud MD juga jelaskan tidak ada bukti soal kualitatif.
"Nah sekarang kualitatif, tidak ada yang membuktikan kecurangan," ujar Mahfud MD.
"Maaf pak Mahfud. Soal kata jujur dan adil kalau pak Mahfud bilang yang dicecar BPN sebelah mana sih?" tanya presenter pada Mahfud MD.
"Ya jujur dan adil kan terlalu abstrak, kalau dalam teknis misalnya curang. Kalau dalam hukum pemilu, kecurangan itu harus dilakukan oleh aparat terkait dengan pemilu. Kalau dengan pejabat BUMN kalau itu benar, atau dengan polisi kalau itu benar atau ASN kalau itu benar," jawab Mahfud MD.
Mahfud jelaskan jika aparat yang bersangkutan tidak lakukan tindakan konkret sampai ke TPS juga bukan termasuk kecurangan pemilu.
"Kalau struktur pemerintah melakukan kampanye dan sebagainya itu tidak bisa disebut kecurangan pemilu. Apakah itu salah? salah dong, tapi hukumnya bukan di hukum pemilu, mungkin di hukum administrasi negara, mungkin di hukum pidana," lanjut Mahfud MD.
Mahfud MD juga membicarakan soal kesaksian Said Didu.
"Soal kesaksian yang diajukan Said Didu itu memang harus diselesaikan secara pengadilan," ujar Mahfud MD lagi.
Pada kesempatan yang sama, Mahfud MD juga tanggapi kesaksian keluarganya yang ikut jadi saksi BPN, Hairul Anas.
Mahfud jelaskan jika materi kesaksian Hairul Anas sangat mentah.
Namun Mahfud juga bangga jika keponakannya bisa ikut berpolitik.
Simak video selengkapnya!
(Tribunnews.com/ Siti Nurjannah Wulandari)