Ikhlas Sumber Kebahagiaan
IKHLAS itu ruh kehidupan dan sumber kebahagiaan. Ikhlas hanya bisa keluar dari pribadi yang bekerja dengan semangat memberi dan melayani, bukan
Editor: Johnson Simanjuntak
Oleh: Komaruddin Hidayat
Gurubesar dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
IKHLAS itu ruh kehidupan dan sumber kebahagiaan. Ikhlas hanya bisa keluar dari pribadi yang bekerja dengan semangat memberi dan melayani, bukan dari pribadi yang mengejar upah dan tepuk tangan. Orang yang bekerja semata karena mengejar upah, maka durasi kesenangannya hanya sesaat, yaitu ketika menerima uang. Begitu uang dibelanjakan dan habis dibagi, maka kesenangannya pun menghilang.
Ada nasihat klasik, ikhlas itu ibarat burung yang bernyanyi. Dia menyanyi karena bisanya dan hobinya menyanyi, tidak mengharapkan pujian dan tepuk tangan dari pendengarnya. Ada lagi yang mengibaratkan melayani dan menolong orang dengan ikhlas itu bagaikan orang membuang hajat. Dia merasa lega dan bahagia setelah mengeluarkannya dan tak ingin mengingat-ingat kembali.
Demikianlah, bekerja keras tanpa disertai dengan tindakan cerdas dan ikhlas ujungnya hanya kekecewaan. Di dalam melayani dan memberi, seseorang merasa bangga pada dirinya karena hidupnya merasa bermakna bagi orang lain. Dengan memberi seseorang merasa kaya. Oleh karena itu agama banyak mengajarkan memberi bukannya meminta dan menerima.
Orang yang sibuk bekerja jika tidak ikhlas dan tidak tahu untuk apa dan siapa yang dia lakukan, mudah menimbulkan rasa lelah. Jadi, agar pekerjaan dapat dilakukan dengan baik dan sempurna serta melegakan hati, mesti didasari pemahaman, ketrampilan dan keikhlasan.
Perbuatan dan ucapan yang keluar dari hati yang ikhlas juga akan dirasakan oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya. Kalaupun terjadi salah faham akan mudah diselesaikan dengan damai karena orang yang ikhlas akan mudah menerima kritik dan tidak mudah sakit hati. Bahkan kritik akan diterimanya dengan lapang hati dan ucapan terima kasih agar tidak merusak amalnya.
Rasulullah bersabda, orang hidup yang perbuatannya absen dari ruh keikhlasan maka dia ibarat mayat berjalan. Amal perbuatannya tidak akan tercatat sebagai amal saleh. Bagaimana mengetahui tingkat dan kadar keikhlasan seseorang?
Ini yang tidak mudah. Hanya yang bersangkutan mestinya yang paling tahu, ketika berbuat sesuatu, termasuk salat, puasa, dan berderma. Apakah itu semua dilakukan dengan tulus semata mengharap ridha Allah ataukah terbersit motif lain, hanya yang bersangkutan yang tahu. Namun hal ini perlu dijelaskan dan dilatihkan pada diri kita sendiri dan pada orang lain, khususnya kepada anak-anak agar mereka terlatih untuk membiasakan ikhlas dan beramal.
Kitab suci Alquran menyebutkan, orang yang berderma menolong orang lain tetapi mengharap pujian atau niatnya pamer, maka hilanglah semua kabajikannya. Dia tidak mendapatkan apa-apa dari yang telah dikerjakannya kecuali kecewa. (Albaqarah 2:264).
Dalam melaksanakan tugas negara pun akan berbeda mereka yang memiliki semangat pengabdian dibanding mereka yang mengejar kekuasaan dan kekayaan. Dengan jiwa yang ikhlas, sebuah jabatan akan dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan amal kebajikannya melayani masyarakat luas. Dia sadar, jika mengkhianati amanat jabatan maka dosanya akan besar karena dampak negatif yang ditimbulkannya akan menyengsarakan orang banyak.
Sebaliknya, kalau dengan jabatan itu dia dapat membantu orang banyak, maka pahala kebajikannya akan berlipat. Tetapi, lagi-lagi, yang lebih penting adalah bagaimana bekerja dengan baik, professional, dan membawa manfaat bagi banyak orang. Sedangkan soal pahala serahkan saja karena itu urusan Allah yang Maha Kasih dan Bijak.
Ketika menjalani puasa, sesungguhnya kita juga sedang belajar untuk ikhlas. Tidak makan tidak minum, kita jalankan semata karena cinta kepada Allah dan mengikuti petunjukNya, bukan karena ingin diakui oleh manusia.