Fikih Puasa Ramadan
Puasa adalah dimensi meninggalkan sesuatu yang sebenarnya halal, tetapi ditinggalkan semat-mata mengikuti perintah Allah SWT.
Editor: Y Gustaman
Oleh: KH Cholil Nafis, Lc., Ph D, Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak mempunyai sebuah keperluanpun untuk meninggalkan makan dan minumnya”. (HR. Bukhari)
Kata puasa dalam bahasa Arab adalah “shiyam" atau "shaum”, keduanya merupakan bentuk masdar, yang bermakna menahan diri (imsak). Menurut syariat Islam, puasa adalah suatu bentuk aktivitas ibadah kepada Allah SWT dengan cara menahan diri dari makan, minum, hawa nafsu, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga matahari terbenam atau Magrib dengan berniat terlebih dahulu sebelumnya. Artinya, orang yang sedang berpuasa telah menahan diri sehari penuh dari konsumsi dan seks yang sebenarnya halal karena semata-mata menjalankan ibadah.
Menurut definisi tersebut maka kewajiban zhahirnya seseorang yang berpuasa, khususnya di bulan Ramadan harus memenuhi ketentuan sebagaimana berikut: Pertama, niat di malam hari secara spesifik, seperti niat setiap malam di bulan Ramadan bahwa ia hendak melaksanakan ibadah puasa wajib.
Kedua, menahan diri dari memasukkan sesuatu ke dalam perut dengan penuh kesadaran bahwa dirinya sedang berpuasa. Karenanya, makan dan minum secara sengaja dapat membatalkan puas, dan tidak membatalkan puasa jika dalam keadaan lupa atau memasukkah sesuatu dari mata, kuping atau injeksi.
Ketiga, orang yang puasa harus meninggalkan hubungan intim (jima’) di siang hari saat menjalankan ibadah puasa. Jika melakukan hubungan intim di malam hari, lalu mandi hadats (kotoran) besarnya di malam harinya atau setelah subuh maka puasa tetap sah. Jika seseorang yang tidur di siang hari “mimpi basah” maka tidak membatalkan puasanya. Kalau ia onani sampai keluar seperma di siang hari, maka dapat membatalkan puasanya.
Keempat, seseorang yang berusaha mengurek mulutnya agar muntah maka dapat membatalkan puasanya, berbeda hukumnya jika seseorang yang muntah dengan sendirinya tanpa unsur kesengajaan maka tidak membatalkan puasanya. Seseorang yang menelan ludah yang masih di dada atau di tenggorokan maka tidak membatalkan puasa, berbeda dengan ludah yang sudah di mulut atau di bibir kemudian ditelah maka dapat membatalkan puasa.
Adapun kewajiban orang yang meninggalkan ibadah puasa Ramadan, baik karena ada sebab syara’ (‘udzur) atau tanpa alasan syara’ maka hukumnya wajib menggantinya (qadha’) di hari-hari sebelas bulan berikutnya. Perempuan haid atau nifas wajib mengganti puasanya. Sedangkan orang kafir, orang murtad dan orang gila tidak wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya. Ketika mengganti puasa Ramadan tidak disyaratkan harus berturut, boleh memilih hari-hari di sebelas bulan berikutnya.
Seseorang yang membatalkan karena berhubungan intim dengan pasangannya wajib bayar denda (kaafarat). Kaffarahnya adalah memerdekakan budak. Jika tidak punya budak maka wajib puasa dua bulan berturut-turut. Dan, Jika tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut maka ia wajib memberi makan enam puluh orang miskin yang masing-masing satu kilogram (mod) dari bahan makanan pokok kesehariannya.
Puasa adalah dimensi meninggalkan sesuatu yang sebenarnya halal, tetapi ditinggalkan semat-mata mengikuti perintah Allah SWT. Puasa adalah ibadah yang tidak terlihat oleh orang lain. Saat seseorang sedang menjalankan ibadah puasa, maka yang tahu apakah ia menjalankan puasa dengan menjauhi makanan, minuman dan seks atau hanya pura-pura adalah Allah SWT. Inilah keutamaan ibadah puasa dibanding ibadah lainnya.