Pengunjung Makam Titisan Prabu Siliwangi Generasi Ke-4, Harus Wudlu dan Dilarang Merokok
Kemahsyuran Eyang Dalem Sangadipati Kertamanah dalam menyebarkan agama Islam membuat kedudukannya disejajarkan dengan Wali Songo.
Editor: Anita K Wardhani
Laporan wartawan Tribun Jabar, Yudha Maulana
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Kemahsyuran Eyang Dalem Sangadipati Kertamanah dalam menyebarkan agama Islam membuat kedudukannya disejajarkan dengan Wali Songo.
Titisan dari Prabu Siliwangi generasi ke-4 itu mendakwahkan Islam secara damai ke tengah masyarakat yang masih kental dengan animisme sekitar abad ke-15.
Gesekan daun bambu yang digerakkan angin mengiringi perjalanan Tribun ke tempat peristirahatan terakhir Eyang Dalem Sangadipati Kertamanah di Cikabuyutan, Pasirjambu, Kabupaten Bandung.
Untuk mencapai lokasi itu, Tribun meniti jalan setapak berpagar bambu sepanjang 150 meter dari gerbang masuk di Kampung Kabuyutan.
Sebelum tiba ke makam waliyullah tersebut, akan kita temui empat makam para sahabat yang setia menemani dakwah beliau.
Dimulai dari Eyang Geleng Pangacingan, Eyang Jaga Satru, Eyang Kumis Bereum, kemudian Eyang Mangku Bumi yang letak makamnya berdampingan dengan makam Eyang Dalem Sangadipati Kertamanah.
Makam Eyang tak ditutupi oleh kelambu, hanya ada bebatuan berukuran sekepalan tangan dan sebuah batu nisan yang menandakan bahwa di situ terdapat makam. Makam para sahabatnya pun tak jauh berbeda.
Juru kunci Makam Karomah Kabuyutan, Utar Muhtar (67), bercerita bahwa Eyang Dalem Sangadipati Kertamanah berada pada masa perjuangan para Wali Songo pada ke-15. Hanya, walau berdarah ningrat, beliau tak segan untuk turun langsung kepada masyarakat.
Tak hanya ilmu agama, leluhur dari Eyang Santoan Kobul itu juga mengajarkan bekal kehidupan.
"Beliau itu istilahnya wali di lapangan, syiar Islamnya turun ke masyarakat, kemudian mengajarkan bagaimana cara bercocok tanam, berdagang, berdoa," kata Utar kepada Tribun di Cikabuyutan, kemarin.
Eyang, ungkap Utar, tak segan untuk menyiarkan Islam kepada para bandit atau penjudi secara damai.
Perlahan tapi pasti, perubahan pun tampak, hingga akhirnya mereka bersedia menunaikan shalat dan taat kepada ajaran Islam.
Beliau pun kerap dijadikan tempat bertanya dan menjadi pencari solusi, jika di tengah masyarakat terjadi perkara.
"Mungkin berbeda cara dakwah di zaman sekarang, bila sekarang orang tinggal diluruskan saja karena sebagian sudah mengenal apa itu hadits dan Al-Quran, sedangkan Eyang berhadapan dengan berbagai agama kepercayaan, sangat awam sekali masyarakat ketika itu," katanya.
Ikhtiarnya dalam menyebarkan Islam, meluas dari Bandung Selatan hingga ke Utara dengan Cikabuyutan sebagai pusatnya.
Jalan menuju makam Eyang Dalem Sangadipati Kertamanah
Jalan menuju makam Eyang Dalem Sangadipati Kertamanah (yudha maulana/tribun jabar)
Napak tilasnya dalam menyebarkan Islam kemudian diteruskan oleh anak cucunya, salah satunya adalah Eyang Santoan Kobul dan Eyang Ibrahim di Kabupaten Bandung Barat.
Karena keikhlasannya itu, kata Utar, masyarakat hingga kini masih menaruh hormat kepada Eyang. Hal itu bisa dilihat dari peziarah yang datang dari berbagai daerah.
Tak hanya dari kawasan Bandung Raya, bahkan peziarah dari Malaysia pun pernah datang ke sana.
"Banyaknya yang datang itu malam Senin atau malam Jumat," katanya.
Dalam rute menuju makam Eyang, anda akan melewati sebuah jalur yang di kiri dan kanannya terlihat kedua sungai tersebut dari ketinggian 30 meter.
"Di sini juga ada mushala sebelum menuju makam Eyang, air untuk berwudhunya berasal dari mata air dan sering juga dipakai warga, jika air sungai Cisondari keruh akibat hujan besar," katanya.
Disarankan, ucap Utar, bagi peziarah untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum memasuki makam dan dilarang merokok.
Berwudhu agar doanya lebih mustajab dikabulkan oleh Allah dan dilarang merokok karena untuk menghormati orang yang sedang berdoa.
Secara geografis, lokasi makam Eyang Dalem Sangadipati Kertamanah berada di punggungan bukit yang diapit oleh dua sungai besar, yakni Sungai Cisondari dan Sungai Ciwidey yang aliran sungainya berasal dari lereng Gunung Patuha.
Di sekitar lokasi makam Eyang, tepatnya berdekatan dengan Makam Eyang Kumis Bereum terdapat sebuah gua.
Masyarakat sekitar menyebutnya Gua Hawu karena bentuknya seperti tungku.
Mitosnya, tempat tersebut bisa memberikan gambaran kesuksesan seseorang di masa depan dengan masuk ke gundukan batu berbentuk gua yang dari pintu masuk ke keluarnya hanya berjarak tiga meter dan memiliki tinggi sekitar 120 centimeter.
"Itu hanya untuk menambah keyakinan saja kepada Allah, bahwa sesuatu yang gaib itu ada, karena saat mask ke dalam gua, proses masuknya itu berbeda-beda, ada yang lancar ada yang kesulitan," katanya.
Jika berangkat dari Bandung, ada angkutan umum berupa engkel jurusan Leuwipanjang-Ciwidey atau Soreang-Ciwidey.
Turunlah di Pasirjambu, di sana ada penanda dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang menunjukkan jarak ke lokasi makam Eyang.
Peziarah akan menyusuri jalan bekas rel jurusan Bandung-Ciwidey yang telah dicor agar bisa dilewati kendaraan bermotor.
Jalan setapak pun dari gerbang ke makam pun baru dibuat pada 2004 silam, sebelumnya peziarah harus memutar ke arah barat.
"Sebelumnya sederhana, merintis sedikit-sedikit agar semakin nyaman untuk peziarah," katanya.(*)