Kisah Berdirinya Masjid Jami Al-Istiqomah Mirip Cerita Tangkuban Perahu
Meski konstruksi bangunan tak tampak istimewa, Masjid Al-Istiqomah di Jalan Raya Sawangan, Mampang, Depok, ini menyimpan banyak kisah.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Meski konstruksi bangunan tak tampak istimewa, Masjid Al-Istiqomah di Jalan Raya Sawangan, Mampang, Depok, ini menyimpan banyak kisah.
Salah satu masjid tertua di Kota Depok yang berdiri pada 1848 itu menjadi tempat umat Islam di Depok menjalankan salat berjemaah.
Suganda, Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Jami Al-Istiqomah, mengatakan proses berdirinya berawal saat Haji Djasim mewakafkan tanah seluas 1.020 meter.
Rinciannya, 400 meter diperuntukkan untuk bangunan masjid dan 620 meter untuk makam di belakang masjid.
Dikisahkan, Masjid Jami Al-Istiqomah dibangun hanya dalam waktu satu malam karena karomah yang dimiliki Haji Djasim.
"Konon cerita dari orangtua kami masjid ini berdiri dengan sendirinya, namun kata orangtua dulu keburu siang. Artinya pas terbit fajar, pembangunan terhenti. Jadi seperti cerita Tangkuban Perahu," kata Suganda ditemui di Pancoran Mas, Depok, Selasa (29/5/2018).
Selain dikenal sebagai sosok yang saleh, Haji Djasim diriwayatkan berasal dari Kudus, Jawa Tengah, dan masih memiliki silsilah dengan Wali Songo.
Selepas kesiangan, pembangunan masjid dilanjutkan oleh warga yang tinggal di sekitar masjid dan kini termasuk wilayah Kelurahan Mampang.
Dengan bergotong royong, warga mengumpulkan dana dan tenaga untuk meneruskan pembangunan masjid yang terhenti.
Suganda menjelaskan, Warga yang berprofesi sebagai petani dan pedagang menyisihkan keuntungan hasil panen dan dagangannya untuk pembangunan Masjid.
Baca: Kisah Kesaktian Tongkat yang Dipakai Khatib Menyebar, Pengelola Masjid di Tebet Larang Lakukan Ini
"Habis kesiangan itu dilanjutkan oleh warga sini. Dulu di sini (Simpang Mampang) pasar tradisional, orang-orang di sekitar masjid sini yang panen dari palawija, padi, jagung, kelapa, itu hasil panennya dijual untuk membeli bahan material, jadi murni swadaya. Jadi hasil jual panennya disisihkan untuk beli bahan material, beli batako, semen, dan sebagainya," ujarnya.
Suganda menuturkan, sawah tempat warga bercocok tanam tersebar di Kelurahan Mampang kini sudah menjadi pemukiman.
Terkait keberadaan pasar, ia memperkirakan pasar tradisional itu tidak lagi beraktivitas sekira tahun 1975.
Semangat warga untuk meneruskan pembangunan masjid muncul karena saat itu belum ada masjid sebagai tempat beribadah dan menyebarkan agama Islam.
Baca: Memberi Utang Orang yang Memerlukan atau Sedekah, Berpahala yang Mana?
"Ini salah satu masjid tertua, jadi jemaah dari berbagai kampung seperti Kupu, Parung Bingung, Rawa Denok, Krukut Karena memang pada saat itu jarang sekali Masjid. Orang-orang dari luar kampung juga menuntut ilmu agama Islam di sini. Karena visi dari orangtua kami sebagai tempat syiar agama," tutur Suganda.
Selama satu abad lebih berdiri, Suganda mengatakan Masjid Jami Al-Istiqomah baru dua kali direnovasi.
Renovasi pertama sekira pada 1970 sedangkan renovasi kedua sepuluh tahun berikutnya.
Ketika renovasi besar pertama, penduduk di kawasan Mampang mulai bertambah.
"Waktu didirikan bangunan masjid ini sangat sederhana, ini sudah dua kali direnovasi kalau tidak salah. Saat didirikan tempat wudunya masih pakai sumur timba. Karena perkembangan zaman dan karena jemaah semakin banyak, bangunan direnovasi. Ada perluasan bangunan," katanya.
Lonjakan penduduk di Kelurahan Mampang usai renovasi pertama dilakukan dibarengi dengan meningkatnya jemaah Masjid Jami Al-Istiqomah.
Guna menampung jemaah, renovasi besar kedua dilakukan dengan cara menguruk kali di depan Masjid yang menjadi satu tempat mengambil wudu dan meningkat bangunan.
"Setelah diperluas tetap masih belum tertampung karena pertambahan penduduk pesat. Di renovasi kedua, Masjid kami tingkat. Ini bangunnya sudah berubah total," papar Suganda.
TribunJakarta.com, Bima Putra