Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Ramadan

Mengenal Sosok Bilal bin Rabah, Budak yang Menjadi Muaddzin, Suaranya Begitu Mengguncang

Bilal bin Rabah, nama ini cukup terkenal. Mengapa? Kisahnya mengguncang “berhala” kaum Quraisy ketika peristiwa futuh Makkah cukup melegenda.

Editor: Anita K Wardhani
zoom-in Mengenal Sosok Bilal bin Rabah, Budak yang Menjadi Muaddzin, Suaranya Begitu Mengguncang
istimewa/gana Islamika
Ilustrasi Bilal 

TRIBUNNEWS.COM - Bilal bin Rabah, nama ini cukup terkenal. Mengapa? Kisahnya mengguncang “berhala” kaum Quraisy ketika peristiwa futuh Makkah cukup melegenda.

Bagaimana kisah Bilal bin Rabah? Yuk simak tulisan yang disarikan dari dua tulisan di Gana Islamika

Apabila diucapkan namanya, setidaknya tujuh dari sepuluh Muslim di seluruh dunia akan mengenal namanya.

Derajat keterkenalan namanya bahkan setara dengan para Khulafaur Rasyidin (menurut Wikipedia adalah kekhalifahan yang berdiri setelah kematian Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M, atau tahun 10 H)

Bagaimana tidak, namanya diperkenalkan kepada seluruh anak-anak Muslim di dunia dari sejak usia yang sangat dini. Dialah Bilal bin Rabah,

Muaddzin pertama dalam Islam, yang seruannya mengguncang “berhala” kaum Quraisy ketika peristiwa futuh Makkah.

Beberapa saat setelah peristiwa futuh Makkah, tibalah waktunya shalat Dzuhur.

Berita Rekomendasi

Waktu itu ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah SAW, termasuk orang-orang kafir Quraisy yang baru masuk Islam.

Baca: Punya Keinginan Belum Tercapai? Jangan Sia-siakan 90 Waktu Terbaik Ramadan, Pas untuk Berdoa

Pada saat-saat yang sangat bersejarah tersebut, Rasulullah SAW memanggil Bilal agar naik ke atap Kabah untuk mengumandangkan Adzan.

Bilal melaksanakan perintah tersebut dengan senang hati, lalu mengumandangkan Adzan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Adzan tersebut adalah adzan yang pertama dikumandangkan di Makkah dalam sejarah Islam.

Namun, siapakah sebenarnya Bilal bin Rabah?

Bila disebut nama Abu Bakar as-Siddiq, maka Umar bin Khattab akan berkata, “Abu Bakar adalah pemimpin kita yang telah memerdekakan ‘pemimpin kita’.”

Siapakah yang dimaksud dengan ‘pemimpin kita’ oleh Umar? Dialah Bilal.

Namun setiap menerima pujian yang ditujukan kepadanya, Bilal akan menundukkan kepala dan memejamkan mata.

Bilal menunduk dengan air mata mengalir yang membasahi pipinya, dia berkata, “aku ini hanyalah seorang Habsyi, dan kemarin aku seorang budak belian.”

Menurut riwayat, Bilal adalah seorang laki-laki kulit hitam, kurus, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis.

Benar apa yang dikatannya, sebelumnya dia adalah seorang budak belian.

Namun berkat keyakinannya yang kuat terhadap agama Islam dan kenabian Nabi Muhammad SAW, beliau mendapat derajat dan kedudukan yang tinggi bersama orang-orang suci lainnya.

Bahkan banyak para pemuka dan petinggi kaum Quraisy yang sebelum datangnya Islam mempunyai kedudukan jauh di atas Bilal, namun setelah datangnya Islam, mereka tidak dapat menyaingi keharuman nama seorang Bilal si budak belian.

Baca: Omar Choi dan Ayana Jihye Moon si Ganteng dan Cantik yang Populerkan Islam di Korea, Simak Kisahnya

Sejarah Perbudakan

Sebelum datangnya Islam, orang-orang Arab sangat membanggakan asal-usul keturunannya, dan di masa itu perbudakan masih merajalela.

Situasi sosial seperti itu, tentunya sangat merugikan bagi seorang budak yang asal-usulnya tidak jelas, dia tidak termasuk dalam Bani (kaum/keluarga besar) mana pun.
Seorang budak pada masa itu tidak memiliki hak apapun, hidupnya telah dibeli oleh harta seorang tuan.

Setelah dibeli, dia murni milik tuannya, mereka bekerja menggembalakan hewan ternak milik tuan mereka. Keseharian para budak kebanyakan hanya berada di antara kambing-kambing dan unta-unta milik para pembesar.

Namun apa yang terjadi pada dunia perbudakan di Arab pada saat itu sesungguhnya hanyalah salah satu bagian dari kondisi perbudakan yang sudah berlangsung sangat lama dalam sejarah manusia.

Sejarah tertua perbudakan tertulis dapat ditemukan dalam Hukum Hammurabi (1760 SM), namun fenomena perbudakan itu sendiri sudah jauh terjadi sebelum itu, yakni pada tahun 5300 SM pada masa kejayaan Bangsa Sumeria Kuno.

Hal serupa juga terjadi di Mesir Kuno, Bangsa Akadia, dan Assiria. Sekalipun demikian, sejarah perbudakan pada era tersebut tidak banyak dikenal, karena hanya Hukum Hammurabi saja yang bisa dijadikan bukti, di samping catatan hieroglif di Mesir pada masa Ramses II.

Untuk era ini, yang terinformasikan dari wacana perbudakan adalah status hukum budak itu sendiri. Ini bisa dimengerti karena landasan dari sejarah ini didasarkan pada Hammurabi Code yang khusus bicara masalah hukum di Babilonia. Sedangkan di Mesir, perbudakan terjadi secara massive untuk membangun kota dan tempat-tempat lain bagi kerajaan. Untuk era-era setelah itu, perbudakan tetap terjadi dengan skala besar tetapi tidak terekam oleh sejarah secara terperinci.

Sejarah perbudakan yang secara terperinci tercatat, dimulai pada era Yunani Kuno (abad ke-7 SM). Pada masa Yunani Kuno, terdapat dua karakter perbudakan yang berada di dua kota terkemuka, yakni Spartha dan Athena. Kehidupan di kedua kota di Yunani tersebut sangat tergantung pada perbudakan yang diperoleh dari peperangan. Karakter perbudakan di Sparta lebih pada posisi “pelayan dan hamba” bagi tuannya, yang lazim dikenal dengan nama helot –satu predikat yang dilekatkan pada warga dari kota Helos . Posisi mereka adalah warga tidak bebas, artinya sebagai warga yang terikat oleh aturan-aturan khusus. Helot biasa dipekerjakan di sektor pertanian dan menjadi sokoguru perekonomian Sparta. Mereka dijadikan pekerja dan bahkan dalam ritual keagamaan digunakan sebagai persembahan.[8] (PH)

ilustrasi bilal
Ilustrasi Bilal

Adzan Pertama
Dalam tulisan Gana Islamika, https://ganaislamika.com/kisah-bilal-bin-rabah-6-adzan-pertama/
disebutkan pada tahun 622 M, orang-orang Islam di Makkah melakukan Hijrah ke Madinah. Hijrah dilakukan secara bertahap selama dua bulan dari sejak peristiwa Baiat Aqabah Kubra.

Baiat Aqabah Kubra adalah peristiwa Baiat terhadap penduduk Yastrib (Madinah) oleh Rasulullah mengenai pengesahan jalinan agama dan militer di bukit Aqabah, Makkah

Setelah semua Muslim berhijrah ke Madinah, yang tersisa di Makkah hanya tinggal tiga orang, yakni Nabi Muhammad SAW sendiri, Abu Bakar as-Shiddiq, dan Ali bin Abu Thalib.

Mereka bertiga menetap di Makkah karena belum mendapat perintah dari Allah SWT untuk berhijrah. Suatu hari datanglah Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dia mengabarkan bahwa perintah berhijrah telah turun, seraya berkata, “janganlah engkau tidur di tempat tidurmu malam ini seperti biasanya.”

Nabi Muhammad SAW kemudian memberi perintah kepada Ali, beliau berkata, “tidurlah di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadhramaut ini.

Tidurlah dengan berselimut mantel itu. Sesungguhnya engkau tetap akan aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan.” Demikianlah Ali menjadi pengganti Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy.

Tengah malamnya, sebelas orang Quraisy hendak melakukan pembunuhan berencana terhadap Nabi Muhammad SAW. Di antara sebelas orang itu terdapat mantan majikan Bilal, yaitu Umayyah bin Khalaf. Atas izin Allah, mereka semua tidak dapat melihat Nabi ketika beliau keluar rumah.

Kemudian mereka masuk ke dalam rumah Nabi hendak membunuh orang yang sedang tertidur yang mereka kira Nabi. Ali kemudian bangkit dari tempat tidur dan langsung dikepung. Mereka bertanya keberadaan Muhammad. Ali menjawab, “aku tidak tahu.”[6]

Singkat cerita, pada akhirnya hampir seluruh Muslim dapat berhijrah ke Madinah, dan dari kota itulah secara perlahan umat Muslim dapat bangkit dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Kembali kepada kisah Bilal bin Rabah, setelah kemerdekaannya, Bilal sangat setia terhadap Nabi Muhammad SAW, ke mana pun Nabi pergi, Bilal selalu mengikutinya.

“Aku, Bilal, budak Umayyah, akan memberitahumu tentang hari-hari yang harus dikagumi, aku ada di sana–dua puluh dua tahun mendampingi—ketika Muhammad, Rasulullah, berjalan di atas muka bumi, aku mendengar apa yang beliau katakan dan melihat apa yang beliau lakukan….” kata Bilal.[7]

Ketika Masjid Nabawi di Madinah selesai dibangun, Rasulullah telah mengambil keputusan akan menggunakan naqus (lonceng) sebagai alat untuk memanggil orang-orang untuk shalat. Namun Rasul sendiri tidak menyukainya karena menyerupai orang Nasrani. Hingga salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih bermimpi, di dalam mimpinya itu dia didatangi seorang laki-laki.

“Laki-laki itu memakai baju hijau di tangannya membawa naqus. Aku bertanya kepadanya, ‘Ya Abdullah, apakah engkau mau menjual naqus itu?’ Orang itu menjawab, ‘akan kau gunakan untuk apa?’ Aku menjawab, ‘untuk memanggil orang buat shalat.’ Dia berkata, ‘maukah aku tunjukkan kepadamu cara yang lebih baik? Sebutlah Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar…. (diteruskan sampai dengan kalimat Adzan yang kita kenal hari ini).’ Maka aku bangun pagi, lalu pergi kepada Rasulullah. Aku kabarkan kepadanya mengenai mimpi itu. Lalu Rasulullah bersabda, ‘sesungguhnya mimpi itu betul, insya Allah.’…. ,” kata Abdullah bin Zaid.[8]

Kemudian Rasulullah memberikan perintah kepada Abdullah bin Zaid, “dapatkan Bilal dan katakan padanya apa yang telah engkau lihat, ajari dia kata-katanya sehingga dia bisa memberikan panggilan, karena dia memiliki suara yang indah.” Abdullah bin Zaid menemui Bilal dan mengajari kata-katanya.

Setelah diajari, mulailah Bilal Adzan, “Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Asyhadu an laa illaaha illallaah. Asyhadu an laa illaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. Hayya ‘alas-shalaah. Hayya ‘alas-shalaah. Hayya ‘alal-falaah. Hayya ‘alal-falaah. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah.” Adzan tersebut adalah Adzan pertama dalam sejarah Islam, dan dilakukan oleh mantan budak yang sebelumnya dihinakan.

Umar bin Khattab mendengar seruan itu saat masih berada di rumahnya, dia buru-buru keluar, menyeret jubahnya di belakangnya, berkata, “demi Dia yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah, aku melihat mimpi yang sama.” Nabi Muhammad SAW senang dan berkata, “segala puji bagi Allah.” (PH)

Tulisan disarikan dari Gana Islamika dengan judul Kisah Bilal bin Rabah (6): Adzan Pertama dan Kisah Bilal bin Rabah (1): Budak yang Menjadi Muaddzin

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas