Mutiara Ramadan: Memudikkan Kesucian
Ibadah puasa dimaksudkan agar manusia mampu mengangkat harkat kemuliaannya yang azali, primordial, yakni berada dalam kesucian.
Editor: Dewi Agustina
Dr Mutohharun Jinan MAg
Dosen Pascasarjana UMS Surakarta
SECARA normatif Idul Fitri merupakan rangkaian penutup dari ibadah puasa Ramadan yang dilakukan kaum muslim selama satu bulan.
Namun secara budaya rangkaian ibadah Ramadan masih akan berlanjut hingga bulan Syawal dengan beragam tradisi yang hidup.
Hal ini juga terkait dengan mudik, kebiasaan tahunan yang menjadi penciri khas Ramadan di kalangan masyarakat muslim Indonesia.
Sebagai rangkaian dari ibadah puasa, Idul Fitri bukan saja kembali dibolehkannya makan dan minum, namun lebih dari itu adalah upaya pemaknaan dan pembuktian konsekuensial atas nilai puasa yang baru selesai ditunaikan.
Ibadah puasa dimaksudkan agar manusia mampu mengangkat harkat kemuliaannya yang azali, primordial, yakni berada dalam kesucian.
Sesungguhnya, puasa merupakan sebuah proses ke arah tercapainya tujuan kesucian tersebut.
Hal yang mengindikasikan itu di antaranya adalah anjuran mengeluarkan zakat fitrah atau zakat individu bagi orang yang menjalankan ibadah puasa.
Kewajiban membayar zakat fitrah dibagikan kepada fakir miskin.
Zakat fitrah, bagi pelakunya, mensucikan dan menyempurnakan ibadah puasanya yang mungkin saja ada kealpaan melakukan perbuatan sia-sia.
Zakat fitrah yang harus dikerjakan sebelum Salat Ied mengindikasikan ibadah puasa sebagai ibadah pribadi juga pada kenyataannya tidak bisa dipisahkan dari dimensi sosial, yakni menyantuni warga tidak berpunya dan tidak beruntung sebagai wujud kepedulian.
Idul Fitri juga dapat dimaknai sebagai kembalinya semangat kepedulian dan kebersamaan.
Seperti kepekaan sosial, empati terhadap penderitaan orang lain, keterlibatan aktif dalam aksi-aksi solidaritas meningkat.
Solidaritas sosial mustahil terbangun tanpa dilandasi sikap kerelaan untuk saling menghapus dendam dan menatap masa depan yang lebih positif.
Inilah solidaritas organik, yakni suatu anyaman hidup bermasyarakat di mana hubungan antarindividu saling kenal, saling terkait, dan saling menyapa, serta penuh empati.
Suasana batin yang fitri terus dijaga dan dimanfaatkan secara maksimal, antara lain dengan mentradisikan saling bersilaturahmi dan bermaafan.
Terkait tradisi silaturahmi, muncul gejala sosial yang amat mudah diamati beriringan Hari Raya Idul Fitri, yaitu arus mudik.
Transportasi menjadi masalah utama menjelang dan sesudah hari raya Idul Fitri.
Berkenaan dengan fenomena mudik, sebenarnya untuk kembali menguatkan pertalian tradisional, dengan akar budayanya di kampung.
Prosesi Ritual
Namun faktanya tradisi mudik bukan sekadar pulang kampung.
Lebih dari itu mudik menjadi prosesi ritual yang mencerminkan nilai-nilai fundamental kehidupan yaitu cinta sesama manusia.
Selain itu juga melambangkan suatu sikap dan gaya hidup serta ketertarikan manusia terhadap komunitas dan sejarahnya.
Karena itu, upaya membendung terjadinya luapan arus mudik atau bahkan budaya mudik bukan hal gampang karena hal ini berkaitan dengan dorongan alamiah atau fitri manusia.
Mereka ingin kembali kepada hal-hal berdimensi asal, seperti ingin kembali kepada orang-orang yang paling dekat, ibu-bapak dan saudara.
Dorongan dan kerinduan yang bersifat natural atau fitri itu juga merupakan dorongan yang mengajak orang kembali kepada asalnya, yakni kesucian, ingin meminta maaf kepada mereka.
Idul Fitri sebagai sarana atau medium bermaaf-maafan setelah menjalani tobat dan meminta maaf atau ampunan kepada Allah SWT.
Sebagai sarana meminta maaf, Idul Fitri juga merupakan ajang menjalin silaturahmi, menjalin kasih sayang, dimulai dari meminta maaf kepada orang tua dan sanak saudara.
Hal ini kemudian menjadi sesuatu yang sangat mendasar dalam melaksanakan dan merayakan Idul Fitri.
Artinya, bagi para perantau, merayakan Hari Haya Idul Fitri tanpa mudik nyaris tak bermakna.
Mobilitas mudik merefleksikan kesadaran atas nilai kerja, tindakan, dan hubungan sosial.
Sehingga seseorang mengenali kembali latar belakang budaya dan sosial serta asal muasal dirinya.
Hal ini terlihat dari kuatnya ikatan batin antara pemudik dengan kampung asal kelahirannya.
Kampung asal kelahiran dapat dipahami secara rohani sebagai kampung halaman jiwa manusia yang suci, dari situ sumber sikap dan perilaku yang luhur seperti pengampunan dan solidaritas.
Maka kepulangan para pemudik pada dasarnya adalah upaya memudikkan kesucian itu kepada asalnya.
Sedangkan secara sosio-ekonomi mudik menjadi media demonstratif hasil dari kerja di perantauan sekaligus untuk menggali daya hidup baru agar lebih produktif ketika kembali ke rantau.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.