Dukungan Moral Apkasi untuk Bupati Buol
Ketua Apkasi, Isran Noor, mengatakan dukungan yang diberikan pada bupati yang terjerat kasus korupsi merupakan dukungan moral
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Kholish Chered
TRIBUNNEWS.COM, SANGATTA - Sorotan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) terhadap cara penangkapan Bupati Buol, Amran Batalipu, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ternyata belum berlanjut pada advokasi hukum.
Ketua Apkasi, Isran Noor, mengatakan dukungan yang diberikan pada bupati yang terjerat kasus korupsi merupakan dukungan moral. "Paling tidak advokasi kita dukungan moral," kata Isran di Sangatta, Selasa (10/7/2012).
Isran kembali menegaskan sikap sepakat bahwa korupsi itu harus diberantas. "Namun saya kira, dalam proses pelaksanaannya (pemberantasan korupsi), orang-orang yang terindikasi korupsi masih diperlakukan seperi Amran Batalipu, Bupati Buol itu," katanya.
Hal tersebut dinilainya tidak tepat. "Menurut saya tidak pada tempatnya diperlakukan seperti itu. Siapapun dia, tidak perlu begitu. Seperti orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa saja," katanya.
Amran, kata Isran, ketika ditangkap tidak melakukan perlawanan di rumahnya. Ketika ada perlawanan waktu mau ditangkap, hal itu tidaklah dilakukan Amran, melainkan pendukung alias anak buahnya.
Isran menegaskan pula, Apkasi masih terus membahas tentang kontrol terhadap kebijakan diskresi, sehingga tidak merugikan kepala daerah karena berlanjut atau dinilai sebagai tindak pidana.
Diskresi merupakan keputusan atau tindakan yang dilakukan pejabat pemerintahan, untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal peraturan tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas, atau memberi pilihan.
"Tentang diskresi, Itu masih dibahas. Namun diskresi kebijakan tidak bisa dibawa ke ranah pidana. Hal itu Jelas berbeda dengan tindak pidana korupsi yang merugikan negara, melawan hukum, serta memperkaya diri sendiri dan orang lain," katanya.
Sebelumnya, Senin (9/7/2012), Isran menilai cara penangkapan Bupati Buol, Amran Batalipu tidak beradab. Sebab, penangkapan dilakukan seakan-akan Amran seorang penjahat yang luar biasa.
"Itu yang membuat kami prihatin sekali. Sepertinya, apa yang dilakukan oleh petugas begitu biadab terhadap seorang Bupati Buol," kata Isran yang juga Bupati Kutai Timur, di Hotel Sultan, Jakarta Pusat.
Isran dalam Lokakarya Nasional 'Mitigasi Risiko Terkait Diskresi Kepala Daerah Agar Terhindar dari Pidana Korupsi" mengungkapkan, cara penangkapan tersebut kurang elegan untuk seorang kepala daerah, yang belum jelas kebenaran pelanggaran hukumnya.
"Seperti gimana ya, kan dia ditangkap di rumahnya tanpa ada perlawanan, lalu diperlakukan seperti itu. Sepertinya penjahat yang luar biasa," tuturnya. Bagaimana pun, seorang bupati punya konstituen, yakni rakyatnya yang memilih.
"Kami bukan tidak setuju dengan pemberantasan korupsi, tapi yang kira-kira ada etika," cetusnya. Penangkapan Bupati Buol, menurut Isran, jelas berpengaruh terhadap bupati lain, yang menyebabkan pembunuhan karakter bagi bupati lain.
"Nanti rakyat lain juga berpandangan begitu. Bupati juga seolah-seolah begitu. Karena dilakukan pada Bupati Buol, tapi yang berdampak itu pada bupati-bupati lain," paparnya.
Kepala Badan Diklat Kemendagri Tarmizi A Karim, dalam pembukaan lokakarya nasional Apkasi memaparkan banyak kepala daerah yang harus berurusan dengan hukum, karena mengambil kebijakan yang diskresi.
Itu akibat lemahnya aturan yang melindungi para kepala daerah dalam mengambil kebijakan. "Lemahnya aturan untuk melindungi pengambilan kebijakan yang diskresi, membuat kepala daerah takut mencari inovasi untuk kesejahteraan masyarakat," kata Tarmizi di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin (9/7/2012).
Tarmizi yang hadir mewakili Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menjelaskan, para kepala daerah harus menghadapi tekanan yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya untuk menyejahterakan masyarakat. Bila tidak dicermati, pembangunan sulit berjalan.
"Kebijakan diskresi rentan membuat kepala daerah dituduh menyalahgunakan wewenang, sebab tidak terlindungi regulasi dalam mengambil kebijakan diskresi," katanya. Namun diskresi berbeda dengan korupsi yang memang diniatkan dan sengaja dilakukan.
Modus baru korupsi yang sering menjadi batu sandungan bagi kepala daerah, antara lain menahan setoran pajak ke pusat dengan menyimpan di rekening pribadi kepala daerah. Modus lainnya, pinjaman kas daerah untuk investasi pribadi, mark-up, dan cash back dari rekanan proyek.
"Intinya, diskresi tidak sama dengan korupsi. Bagaimana cara melihat itu, diskresi harus tidak bisa juga melakukan kewenangan sebebas-bebasnya. Harus dilihat kewenangan yang terikat pada pemerintah," kata Tarmizi. Untuk itu, mitigasi diskresi sangat penting untuk mencegah dampak negatif dari suatu tindakan.
Baca Juga: