Budidaya Singkong di Bintan Dapat Apresiasi
begitu besar ini belum digarap sebagai modal untuk menyiapkan kekuatan ekonomi daerah di masa depan
TRIBUNNEWS.COM, KEPRI - Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, memiliki ribuan hektar lahan pasca tambang yang dapat digunakan sebagai lahan pertanian, khususnya budidaya singkong untuk mendukung program swasembada pangan pada tahun 2014. Namun, potensi yang begitu besar ini belum digarap sebagai modal untuk menyiapkan kekuatan ekonomi daerah di masa depan.
Pernyataan itu disampaikan Kepala Bidang Infrastruktur dan Sumberdaya Alam, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Indra Hidayat seusai meninjau lokasi pilot project budidaya singkong dengan aplikasi coco peat yang dikembangkan Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) di Toapaya, Bintan, Rabu (10/4/2013).
"Budidaya singkong dengan aplikasi coco peat yang dikembangkan AISKI di Bintan, patut kita apresiasi. Teknologinya sederhana, tapi bisa mendatangkan hasil yang maksimal. Jika ada investor yang minat, ribuan hektar lahan pasca tambang di Bintan, bisa kita alokasikan untuk budidaya singkong, " ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan AISKI, Ady Indra Pawennari dalam siaran persnya menyatakan tekadnya menjadikan Bintan sebagai sentra penghasil singkong yang diperhitungkan di dalam dan luar negeri.
"Selama ini, Bintan hanya dikenal sebagai penghasil tambang bauksit, pasir dan granit. Namun, dengan aplikasi coco peat, Bintan akan dikenal sebagai penghasil pangan, khususnya singkong," jelasnya.
Ady menceritakan pengalaman koleganya, Tiara yang melakukan usaha budidaya singkong di Samarinda, Kalimantan Timur. Berbekal informasi tentang manfaat serbuk sabut kelapa atau coco peat yang dapat meningkatkan produktivitas lahan yang didapatnya dari internet, ia sukses memanen singkong siap jual sebanyak 800 ton di lahan seluas 1 hektar.
"Ini luar biasa. Selama ini, petani kita hanya mampu menghasilkan singkong 5 kilogram per batang atau 50 ton per hektar. Tapi, dengan menggunakan aplikasi coco peat, hasilnya di luar dugaan. Meningkat hingga 500 - 800 ton per hektar," paparnya.
Namun, Ady mengakui, bibit singkong yang dibudidayakan Tiara di Samarinda bukanlah bibit singkong biasa, tapi bibit hasil inkubasi DNA(deoxyribosenucleid acid) singkong dari Taiwan dan singkong asli Kalimantan Timur.
"Hanya masa panen, daun dan warna singkong yang beda. Kualitas dan rasanya sama dengan singkong lokal, empuk dan gurih saat digoreng," katanya.
Data riset AISKI menunjukkan, untuk dapat berproduksi optimal, tanaman singkong membutuhkan curah hujan 150 - 200 mm pada umur 1 - 3 bulan, 250 - 300 mm pada umur 4 - 7 bulan, dan 100 - 150 mm pada fase menjelang dan saat panen. Namun, dengan kemampuan coco peat yang dapat menyerap dan menyimpan air 300 persen lebih dari kemampuan lahan, menjadikan tanaman singkong dapat tumbuh survive di musim kemarau.
Coco peat memiliki kandungan trichoderma molds, sejenis enzim dari jamur yang dapat mengurangi penyakit dalam tanah, menjaga tanah tetap gembur, subur dan memudahkan umbi pada tanaman singkong tumbuh dengan cepat, besar dan panjang.
Selain itu, ia juga memiliki pori-pori yang memudahkan terjadinya pertukaran udara, dan masuknya sinar matahari. Di dalam coco peat juga terkandung unsur-unsur hara dari alam yang sangat dibutuhkan tanaman, berupa kalsium (Ca), magnesium (Mg), natrium (Na), nitrogen (N), fospor (P), dan kalium (K).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.