Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Berlayar dengan Jukung Bugis Made in Bali

selain itu ia juga sama sekali tidak paham bahasa yang digunakan suku Bugis

zoom-in Berlayar dengan Jukung Bugis Made in Bali
Tribunnews.com/Nurmulia Rekso P
BALI - BRUNEI: Foto Efendi Soleman, seorang pria berumur 62 tahun pada 28 April berlayar seorang diri menggunakan perahu tradisional Bali, atau yang akrab disebut Jukung Bali. Dia napak tilas 25 tahun jukung tunggal dari Bali hingga Brunei Darusalam, menempuh jarak kurang lebih 2.500 kilometer. 

TRIBUNNEWS.COM, BULELENG - Abdul Rajab (60 tahun) adalah generasi ketiga orang Bugis yang tinggal di Desa Sangsit, Buleleng, Bali. Ia mengaku tidak pernah tahu dari kota mana kakeknya berasal, selain itu ia juga sama sekali tidak paham bahasa yang digunakan suku Bugis.

Namun demikian Abdul mengaku mahir melaut dan membuat perahu seperti umumnya orang Bugis, turun-temurun dari kakek ke ayah.

Ditemui Tribunnews.com di Desa Sangsit, Abdul mengaku sudah diajak melaut dan membuat perahu sejak ia remaja. Perahu yang ia buat berupa sampan Model Sopetan khas suku Bugis. Namun demikian karena di Bali perahu semacam itu disebut Jukung, perahu yang ia buat disebut Jukung model Sopetan.

Perahu seperti itulah yang umum ditemui di sekitar perairan Sangsit hingga perairan Lovina.

Jukung model Sopetan terbuat dari pohon yang dikeruk hingga menyerupai bentuk dasar perahu. Dari bentuk dasar itu ditambahkan lagi kayu pada bagian atasnya untuk memberi jarak dari muka air.

Pada sisi depan bagian atas perahu dibentuk meruncing, dan di bagian bawahnya juga dibentuk meruncing menyerupai ujung tombak, dengan bagian yang menyerupai kail di sisi atas bagian perahu yang menyerupai ujung tombak itu. Menurut Abdul, bentuk tersebut khas Bugis, dan ia menolak bentuk tersebut dianggap menyerupai bentuk kepala ikan Penumbuk (Marlin) yang khas terdapat di perahu Jukung Bali.

Perahu itu dipasang dua buah tiang yang dihubungkan oleh sebuah kayu untuk pegangan para awak yang disebut Andang. Di dua tiang itu tempat layar tunggal akan terbentang untuk menangkap angin. Perahu ala Bugis made in Bali inilah yang akan dipakau Fendy mengarungi samudera, lebih-kurang 2.500 kilometer dari Bali ke Brunei.

Berita Rekomendasi

Pada setiap sisi perahu terdapat cadik atau katir yang terbuat dari bambu berukuran besar. Cadik, kayu yang didesain di kiri dan kanan sampan sekaligus sebangai penopang, antiombak. Itu terhubung dengan bagian utama perahu melalui sebuah kayu melengkung yang disebut sebagai Tangan Katir.

Semua bagian katir itu direkatkan dengan senar pancing dan tali tambang yang diikat kuat-kuat. Bahan utama pembuat Jukung umumnya adalah kayu Belalu (Albesia).

Kata Abdul belakangan kayu di Bali merupakan suatu hal yang sulit di dapat karena pemerintah sangat melindungi kelestarian hutan, oleh karena itu sebagian besar kayu untuk membuat Jukung didatangkan dari luar Bali.

"Kecuali Bambu untuk Katir, sebagian besar bahan-bahan didatangkan dari luar Bali, kita banyak Beli kayu asal pulau Jawa," kata Dia.

Jukung di Desa Sangsit umumnya berwarna putih, dengan bagian bawah perahu dan Tangan Katir berwarna hijau. Menurut putra ketiga Abdul, Awaludin (30) pemilihan warna tidaklah sembarangan. Warna putih dipilih karena umumnya nelayan menggemari hal itu. Kata dia saat bulan purnama perahu akan lebih jelas terlihat jika warnanya dominan putih.

Sedangkan warna hijau di bagian bawah perahu adalah bagian yang terendam air, warna itu kata Awal dapat menyamarkan kotoran yang menempel di perahu.

Kata Awal, untuk membuat perahu dibutuhkan waktu setidaknya tiga bulan. Mulai dari mengeringkan kayu gelondongan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari, dan sisanya dua bulan untuk mengolah kayu tersebut. Mulai dari mengeruk kayu hingga mewarnainya.

"Tiga bulan itu kalau santai, ya kalau buru-buru bisa lebih cepat lagi, apa lagi kalau kita diberi kayu yang sudah kering, satu perahu bisa jadi dalam dua puluh lima hari," terang Awal.

Awal juga mengatakan bahwa untuk membuat perahu pihaknya tidak melaksanakan ritual khusus, maupun mendoakan perahu. Awal mengatakan keluarganya membuat perahu dengan perhitungan matang, sehingga bisa membawa keselamatan bagi nalayan yang menggunakannya.

"Apa lagi kalau perawatannya benar, perahu saya ini bisa bertahan sampai dua puluh tahun," jelasnya.

Untuk masalah harga kata Awal hal itu tergantung ukuran perahu. Awal mencontohkan untuk perahu dengan panjang 4,5 meter yang mampu menghadapi ombak setinggi dua meter dan menampung dua orang ia membandrolnya dengan harga Rp 4,5 juta. Ia mengaku modal untuk membuat perahu sepanjang 4,5 meter sekitar Rp 2,5 juta.

Keuntungan membuat perahu itu akan ia bagi dengan anggota keluarganya yang ikut memproduksi perahu.

Dalam satu tahun Awal dan Abdul bisa menerima sekitar dua belas permintaan pembuatan perahu dari nelayan-nelayan di Kabupaten Buleleng. Kata Awal keluarganya tidak menjadikan pembuatan perahu itu sebagai profesi utama.
Menurutnya ia dan sang ayah masih menjadikan profesi nelayan sebagai profesi utama, sedangkan kegiatan membuat perahu adalah profesi sampingan yang dikerjakan setiap tidak melaut.

Tags:
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas