Memilih dengan Cerdas Butuh Waktu dan Proses
Menggunakan isu agama, suku dan kampung dalam proses berpolitik di NTT merupakan cara paling gampang saat tim sukses
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Pos Kupang, Aris Ninu dan Muhlis Al Alawi
TRIBUNNEWS. COM, KUPANG -- Menggunakan isu agama, suku dan kampung dalam proses berpolitik di NTT merupakan cara paling gampang saat tim sukses atau figur pemimpin berkampanye. Demikian pandangan Praeses Seminari Tinggi Ritapiret Maumere, Romo Ewal Sedu, Pr, ketika dihubungi Pos Kupang, Sabtu (8/6/2013) sore.
Menurut Romo Ewal, untuk sampai kepada masyarakat menjadi pemilih cerdas membutuhkan waktu dan proses. Proses itu diibarat seperti manusia, belajar sampai seumur hidup.
Romo Ewal mengatakan, membuat masyarakat NTT menjadi pemilih cerdas bukan gampang dan dalam waktu yang singkat. Prosesnya sangat lama dan perjuangan menuju masyarakat cerdas dalam berpolitik bukan hanya urusan satu dua orang saja tapi semua pihak.
"Bukan hanya urusan partai politik tapi semua pihak, termasuk lembaga pendidikan dan keluarga. Maka itu butuh waktu yang lama dan kita sedang menuju ke sana. Tergantung campur tangan semua pihak agar masyarakat NTT menjadi cerdas. Selama ini, di NTT, isu agama, kampung dan suku paling gampang dipakai untuk meraih kemenangan jika orang berpolitik. Dalam berpolitik segala cara pasti dipakai untuk meraih kemenangan," kata Romo Ewal.
Ketua Majelis Sinode GMIT Sion Nangahure, Pendeta Dhyana Babys DD Funu, S.Si, mengatakan, isu agama dalam Pilgub NTT harus diakui semua pihak memang sangat berpengaruh. Tetapi, lanjutnya, jika dicermati secara baik, isu agama dan suku itu menunjukkan bahwa masyarakat NTT belum dewasa dalam berpolitik.
Hal itu sejalan dengan tingkat pendidikan masyarakat NTT yang tergolong rendah sehingga masyarakat mudah dipengaruhi. "Masyarakat dengan kondisi ini bisa terpengaruh tanpa melihat kualitas dan realitas calon pemimpin yang ada. Hal ini membuktikan bahwa peranan gereja atau tokoh agama untuk memberikan pemahaman bagi umat yang didampinginya masih kurang. Gereja masih berpikir sempit atau sebatas kepentingan umat atau basisnya saja tanpa melihat kepentingan yang lebih luas," kata Dhyana.