Kapolda Didesak Klarifikasi Tudingan Dir Samapta Polda
Menyebut wartawan sebagai provokator terjadinya bentrok antara mahasiswa dan apara kepolisian di kampus UNM
Editor: Budi Prasetyo
Laporan Wartawan Tribun Timur/ Rudhy
Terkait Tudingannya Sebut Wartawan Provokator Bentrok
TRIBUNNEWS.COM MAKASSAR, -- Sejumlah pengamat dari berbagai kampus di Makassar mulai menyoroti kinerja Kapolda Sulselbar Irjen Pol Burhanuddin Andi yang tidak mampu memberikan pengarahan baik terhadap anak buahnya yang menyebut wartawan sebagai provokator terjadinya bentrok antara mahasiswa dan apara kepolisian di kampus UNM Jl AP Pettarani, Senin (17/6/2013) malam.
Pengamat Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar Dr Firdaus Muhammad MA menyebutkan Kapolda Sulsel haru segera mengambil tindakan atau langkah tegas agar memberikan klarifikasi atas umpatan Direktur Samapta Polda Kombes Pol Ferdinand Wibisono kepada wartawan yang menyebutnya sebagai provokator.
"Ini merupakan kekeliruan besar yang dilakukan oleh seorang pejabat kepolisian yang menuding wartawan sebagai provokator, apalagi perkataan itu dilontarkan di muka umum," kata Firdaus saat dikonfirmasi, Rabu (19/6/2013).
Menurutnya, antara kepolisian, masyarakat dan media adalah satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan karena mereka saling membutuhkan dimana masyarakat butuh informasi dan kegiatan dari penyelenggara lembaga ataupun institusi negara.
Para penyelenggara lembaga maupun institusi itu punya kewajiban memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kegiatannya karena masyarakat berhak mengetahuinya sesuai yang diamanahkan dalam Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
"Sehingga masyarakat berhak mendapatkan segala bentuk informasi dan kegiatan dari para penyelenggara negara, lembaga maupun institusi karena mereka dibiayai oleh pajak masyarakat. Itu juga dipertegas dalam amanah UU KIP," katanya.
Menurutnya, jika pihak institusi kepolisian sudah mulai menjadikan media sebagai musuh bersama dan tidak lagi menjadikannya sebagai mitra, hal tersebut bakal berdampak buruk bagi kepolisian karena itu merupakan kerugian besar.
Karena itu, Kapolda Sulselbar Irjen Pol Burhanuddin Andi sebagai kapolda harus turun tangan langsung dan jangan membiarkan polemik ini terus berkembang.
Kapolda harus memberikan sanksi kepada bawahannya yang melakukan tindakan yang dapat menciderai hubungan kemitraan itu.
"Jika kepolisian membenturkan antara masyarakat dan media dalam hal ini mahasiswa akan sangat berbahaya bagi ketiganya. Masyarakat bisa antipati dengan kepolisian dan juga media, apalagi jika ada banyak warga yang memang tidak menyukai profesi wartawan dan polisi bisa menimbulkan konflik yang besar," ucapnya.
Diungkapkannya, warga yang tidak menyukai kedua profesi itu akan menggunakan banyak cara dan memobilisasi warga lainnya untuk menciptakan konflik yang lebih besar.
Sebelumnya, insiden antara wartawan dengan Dirsamapta Polda Sulselbar Kombes Pol Ferdinand Wibisono terjadi ketika salah seorang kontributor televisi nasional TV One Fajar Abu Thalib melakukan peliputan unjuk rasa mahasiswa Univeristas Negeri Makassar (UNM) yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Jalan AP Pettarani Makassar pada Senin 17 Juni pukul 23.00 WITA.
Saat itu, terjadi bentrokan antara mahasiswa dan warga yang kemudian dipukul mundur oleh kepolisian. Dirsamapta Kombes Pol Ferdinand Wibisono yang memimpin pembubaran itu terekam kamera Fajar Abu Thalib, kontributor TV One.
Dirsamapta yang tidak terima dirinya direkam oleh wartawan kemudian berbalik arah dan mengumpat sejumlah wartawan dengan perkataan "provokator". Umpatan itu tidak hanya sekali melainkan dilakukan berulang kali sambil berusaha merampas kamera milik wartawan.
"Saat sejumlah teman-teman televisi berusaha merekam sejumlah peristiwa yang menarik dan itu dilakukan dengan cara menyebar. Saya waktu itu berusaha mengambil gambar Dirsamapta yang sedang menembakkan gas air mata, tetapi saya kemudian terus dimaki dan dikatai sebagai provokator dan itu dilakukan berulang-ulang kali," ungkapnya.
Fajar mengaku saat itu, dirinya merasa terancam karena amarah Dirsamapta itu dipertontongkan didepan publik dimana pada saat itu masih banyak masyarakat, mahasiswa dan anak buahnya.
Menurutnya, polisi selaku pengamanan juga berhak memberikan perlindungan kepada wartawan karena mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lainnya, bukannya mencaci, mengumpat dan berusaha merampas kamera wartawan.
Aksi kriminalisasi pers yang dilakukan oleh kepolisian itu kemudian menyulut sejumlah lembaga organisasi wartawan diantaranya Perhimpunan Jurnalistik Indonesia (PJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Selatan serta Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) Kota Makassar. (Rud)