Warga Makassar di Jakarta Gelar Obrolan Warung Kopi Soal Pilkada
Gaung Pilkada Kota Makassar tidak hanya bergema di bumi Sulawesi Selatan
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gaung Pilkada Kota Makassar tidak hanya bergema di bumi Sulawesi Selatan. Warga asal Makassar yang tinggal di Jakarta juga tak luput dari suasana pesta demokrasi di kota terbesar di Indonesia Timur itu.
Hal itu setidaknya bisa dilihat dari diskusi atau obrolan warung kopi di Warung Kopi Phoenam, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, Rabu (28/8/2013).
Dalam obrolan santai sambil menikmati kopi itu hadir sejumlah politisi, pengusaha, aktivis, akademisi, peneliti, asal Makassar yang ada di Jakarta.
Calon Wali Kota Makassar dari kalangan independen, Erwin Kallo, hadir dalam obrolan itu. Dia berkesempatan menerima ide dan gagasan dari sejumlah pihak yang hadir.
Hadir antara lain Politisi Golkar Ali Mochtar Ngabalin, Dosen IIP Dr Nuraliah Nurdin, Aktivis Muda Abd.Razak, dan berbagai unsur masyarakat lainnya.
Erwin Kallo banyak mengemukakan gagasannya membangun kota Makassar. Bahkan dia menyebut Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin sebagai oknum Wali Kota yang bertindak sebagai baby sitter.
"Mangapa baby sitter? Itu karena kemana-mana oknum wali kota ini mengantar satu kandidat saja.
Ke pasar dia hanya mengantar. Naik sepeda juga diantar. Itu perilaku baby sister," ujarnya.
Padahal kata dia, harusnya menjadi milik semua calon.
"Kasihan juga karena sudah terlalu vulgar. Lurah, camat dipecat kiri-kanan hanya untuk kepentingan sesaat ini," beber Erwin dalam diskusi yang digelar di Warkop Phoenam Jakarta, Rabu 28 Agustus.
Ali Mochtar sendiri berpendapat, Makassar harus menjadi barometer demokrasi di Indonesia. Kalau tidak bisa Indonesia, skala kecil minimal Sulsel.
"Jangan gara-gara Pilkada ini kita harus berdarah, dan menangis. Itu menjadi penyesalan kita semua," jelas Ngabalin.
Sementara itu, Dr Nuraliah Nurdin menyoroti soal calon kepala daerah yang mengandalkan politik uang dalam Pilkada. "Pilih pemimpin yang punya visi dan tidak membayar. Kalau kasi uang ambil saja tapi jangan dipilih," kata dia.
Dia juga menyesalkan birokrasi yang kerap mendukung dan dipakai sebagai alat politik calon kepala daerah tertentu dalam Pilkada.