Ganjar Ingin Simpang Lima Semarang Menyerupai Paris
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, mengkritisi baliho iklan yang terpasang di Simpanglima Kota Semarang masih semrawut.
Laporan Wartawan Tribun Jateng Raka F Pujangga
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, mengkritisi baliho iklan yang terpasang di Simpanglima Kota Semarang masih semrawut.
Ganjar mengakui, sudah mendiskusikan kesemrawutan baliho di Semarang kepada walikotanya, Hendi Hendrar Prihadi, yang rencananya dilantik pada hari Senin (21/10/2013).
"Saya sebenarnya sudah mengusulkan kepada Hendi, penataan baliho di kawasan Simpanglima Semarang, kalau Pemkot sudah mentok dibuat menjadi lomba saja. Hadiah totalnya Rp 100 juta, biar masyarakat juga bisa ikut serta," kata dia kepada Tribun Jateng, Sabtu (19/10/2013).
Ganjar mengharapkan, kawasan simpanglima bisa menjadi masterpiece Kota Semarang. Penataan baliho iklan, khususnya di simpanglima Semarang dinilai masih jauh dari harapan.
Bahkan, dia menganalogikan baliho di kawasan simpanglima Semarang, seperti baliho-baliho yang terpasang di alun-alun Purbalingga.
"Hendi seharusnya bisa membuat terobosan menata baliho kreatif. Seperti baliho yang ada di Paris, itu kan bagus," kata dia.
Ganjar menilai, baliho iklan yang terpasang saat ini masih sangat konvensional yang menggunakan pedestrian jalan. Padahal, baliho juga bisa dibuat dengan cara yang inkonvensional.
"Misalnya iklan yang melekat di bus surat, pot bunga, atau tempat sampah. Sehingga baliho iklan juga punya manfaat yang lainnya bagi masyarakat," katanya.
Namun, kata dia, baliho yang memiliki unsur kreatif tersebut justru tidak banyak peminatnya. "Padahal, baliho konvensional itu yang justru mengganggu keindahan kota," jelas dia.
Ketua Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang Eko Budiharjo, setuju dengan rencana Ganjar Pranowo melakukan penataan baliho iklan. Sebab, baliho seharusnya bisa menampilkan karya seni yang nyaman dipandang mata.
"Baliho iklan di Kota Semarang itu ibaratnya sudah menjadi polusi visual yang tidak nyaman dipandang mata dan menutupi keindahan kota," jelas dia.
Apalagi, kata dia, polusi visual atau pencemaran secara visual diperparah dengan banyaknya tokoh anggota DPRD, walikota, tokoh politik dan tokoh agama.
"Secara prinsip, harusnya baliho bisa menjadi karya seni. Karena di Jepang ada integrasi pertokoan dengan iklan. Bentuknya juga bermacam-macam, mulai dari bentuk bunga-bungaan dan tempat sampah," kata pengamat perkotaan Universitas Diponegoro itu.
Eko menambahkan, selain memiliki nilai seni, seyogyanya baliho iklan juga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
"Saya pernah melihat di taman kota, dibelakang bangkunya ada tulisan iklan. Kalau Semarang bisa seperti itu kan baik, tidak harus baliho iklan di pinggir jalan," jelasnya.
Sebenarnya, kata dia, baliho yang sudah agak modern penampilannya yakni di Jalan Pahlawan. Baliho iklan, terpasang menyatu dengan tokoh pewayangan.
"Baloho itu di atasnya ada wayang, bagian bawahnya ada iklan. Ada nuansa pendidikan di sana yang sebenarnya bisa ditiru," katanya.
Dia mengatakan, media untuk iklan itu bisa dalam bentuk apapun. Pengiklan juga dinilai akan tertarik untuk memasang di sana.
"Kenapa pengusaha tidak diundang membuat iklan misalnya dengan media tempat sampah yang bertuliskan iklan. Karena sekarang ini pencemaran lingkungan di perkotaan, juga banyak terjadi karena kurangnya tempat sampah," jelas dia.