Gemerlap 'Pusat Hiburan' di Perbatasan Semarang-Kendal
Malam baru saja menjelang. Lokalisasi Gambirlangu (GBL), Sumberjo, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, sudah mulai menggeliat.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Malam baru saja menjelang. Lokalisasi Gambirlangu (GBL), Sumberjo, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, sudah mulai menggeliat.
Pada Sabtu (26/10/2013) malam, lokalisasi tersebut mulai terlihat ramai dikunjungi para "tamu" yang mengendarai motor ataupun mobil. Suara musik dangdut terdengar dari rumah-rumah yang ada di kompleks lokalisasi itu.
Di teras depan rumah, para wanita penjaja seks komersial (PSK) tampak sedang duduk santai. Mereka mengenakan kaus ketat dengan dipadu celana pendek dan ada pula yang dipadupadankan dengan celana jins panjang. Di jari tangan mereka terselip sebatang rokok yang menyala. Sesekali mereka mengisap rokok tersebut sambil menggeleng-gelengkan kepala mengikuti irama musik dangdut.
Kebanyakan dari para PSK ini berusia sekitar 20 hingga 35 tahun. Wajah mereka cantik-cantik dengan dandanan mencolok. Bibirnya selalu mengumbar senyum kepada setiap pengunjung yang lewat. "Mampir, Mas," ucap salah seorang PSK ke setiap pria yang datang.
Lokalisasi GBL terletak di perbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Kendal. Kawasan itu merupakan salah satu lokalisasi terbesar di Pantura, Jawa Tengah. Lokalisasi GBL terbagi dalam dua wilayah, yaitu Kota Semarang dan Kaliwungu, Kendal. Jumlah PSK yang menghuni dua lokalisasi GBL itu sebanyak 500 orang. Sebanyak 240 orang di antaranya berada di GBL Kendal. Mereka hampir semuanya berasal dari luar daerah, seperti Purwodadi, Jepara, Bandung, dan lainnya.
Ketua Rehabilitasi Sosial (Resos) GBL Kaliwungu, Kendal, Asmadi Suwarto (53), menjelaskan, lokalisasi GBL termasuk lokalisasi berusia tua. Lokalisasi ini sudah ada sejak tahun 70-an. Penghuninya keluar masuk silih berganti.
Namun, menurut pria yang juga mempunyai rumah pondokan untuk praktik PSK ini, seiring dengan perkembangan zaman, lokalisasi yang dulunya kumuh tersebut kini sudah menjadi salah satu kawasan "mewah". Rumah-rumah untuk hiburan dan pelampiasan nafsu syahwat pria hidung belang itu kini sudah dilengkapi ruang karaoke dengan fasilitas air conditioner (AC).
Kini, jelas Asmadi, setiap tamu yang datang ke GBL tidak lagi para sopir truk seperti dahulu, tetapi dari kalangan menengah atas. Hampir semuanya para tamu mengendarai kendaraan roda dua dan roda empat. Kalaupun tidak memiliki kendaraan pribadi, mereka datang dengan menumpangi taksi.
"Kalau tidak berduit, mereka tidak berani datang ke sini (GBL, red), kecuali mereka hanya iseng dan melihat-lihat saja," kata Asmadi.
Menurut Asmadi, sekitar tahun 1970 hingga 1980-an, lokalisasi GBL diramaikan oleh musik dangdut dari pengamen jalanan. Namun, situasinya sudah berubah sejak 1990-an. Musik dangdut dari pengamen jalanan telah hilang dan berubah menjadi tempat karaoke. Jadi, para tamu tidak hanya bisa bercinta dengan PSK, tetapi juga bernyanyi karaoke dengan ditemani oleh pemandu karaoke (PK). Tarif untuk karaoke per jam bervariasi tergantung fasilitas, mulai Rp 20.000 hingga Rp 40.000, sedangkan tips untuk PK per jam Rp 50.000.
"Kalau ruangannya tidak ber-AC, sewa karaokenya cuma 20 sampai 25.000. Yang ber-AC ada yang 30.000, ada juga yang Rp 40.000, tergantung tempatnya," kata Asmadi yang juga mempunyai tempat karaoke.
Asmadi mengaku, tempat karaokenya tidak ber-AC, jadi sepi. Padahal, tarif sewa untuk karaoke di tempatnya cuma Rp 20.000 per jam. Lantaran sepi, Asmadi tidak berani memelihara PK.
"Kasihan, kalau saya memelihara PK sebab karaoke saya tidak laku. Kalau ada tamu yang uangnya pas-pasan dan karaokean di tempat saya, mereka saya tawari PK dari tempat lain," akunya.
Asmadi menambahkan, pada awal-awal musim karaoke, jumlah rumah karaoke di GBL sebanyak 150 unit. Namun, sekarang tinggal sekitar 80 rumah. Dengan demikian, banyak rumah karaoke di GBL ini yang kosong alias tutup. Hal ini karena persaingan bisnis karaoke yang semakin ketat.
"Di GBL, buka mulai jam 8 pagi hingga 12 malam. Lebih dari itu, tamu harus pulang kalau tidak mau kena operasi. Tapi, di tempat-tempat karaoke lain di luar GBL, buka sampai pagi sehingga mereka lebih suka memilih tempat karaoke di luar GBL," ujarnya.
Sepinya tamu karaoke juga dialami Sulasmi (45). Sulasmi juga mengaku tidak berani memelihara PK karena tempat karaokenya sepi. Dia mengelola tempat karaokenya bareng dengan suami.
"Untung warung minuman dan makanan saya laku. Kalau tidak, saya bisa bangkrut," kata Sulasmi.
Sulasmi menjelaskan, kontrakan di GBL sangat mahal. Paling murah setahun Rp 10 juta. Sementara penghasilannya tidak menentu, apalagi tamu yang datang di GBL, semakin hari makin berkurang. "Banyak yang tutup karena bangkrut," kata Sulasmi.
Pemilik karaoke lainnya, Widi (23), justru mengalami nasib berbeda dengan Asmadi dan Sulasmi. Perempuan cantik yang mengaku berasal dari Kota Bandung ini kerap menerima kunjungan tamu sehari minimal tiga orang. Mereka bisa menyewa karaoke plus PK-nya, masing-masing empat hingga lima jam. Para tamu itu juga membeli minuman bir hingga berbotol-botol. Widi yang mempunyai lima anak buah itu mengaku mengontrak rumah di GBL selama dua tahun. Harga kontrak per tahun Rp 12,5 juta.
"Saya baru tiga bulan di sini. Untuk sewa karaoke, satu jamnya Rp 30.000 dan PK-nya Rp 50.000. Selain sebagai induk semang, saya juga menjadi PK kalau ada tamu yang menghendaki saya," akunya.
Widi yang berkulit putih bersih dan berambut panjang sepunggung ini menjelaskan, sebelum mengontrak rumah di GBL, Kendal, selama dua tahun, dia mengontrak rumah di GBL Semarang. Tetapi, karena ada masalah dengan pengurus Resos di GBL Semarang, ia pindah ke Kendal.
"Pengurus GBL di wilayah Semarang orangnya keras. Saya tidak kerasan karena saya diharuskan mau mengikuti kegiatan, seperti latihan teater atau apa," tambahnya sambil tertawa genit.