Saat Hujan 40 Juta Meter Kubik Material Merapi Siap Meluncur
Sebanyak 40 juta meter kubik material sisa erupsi Merapi 2010 siap meluncur menjadi banjir lahar hujan sewaktu-waktu.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Jogja, Ekasanti Anugraheni
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Sebanyak 40 juta meter kubik material sisa erupsi Merapi 2010 siap meluncur menjadi banjir lahar hujan sewaktu-waktu. Potensi banjir lahar hujan semakin tinggi akibat adanya abu vulkanik Kelud yang menyelimuti kawasan Merapi, Jumat (14/2/3014) silam.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan geologi (BPPTKG) Yogyakarta Subandriyo mengatakan, abu vulkanik Kelud memang menjadi pelicin yang memudahkan sisa material Merapi terbawa air hujan menjadi banjir lahar. Sehingga, jika beberapa waktu lalu material Merapi sempat mengalami perubahan karakter, sulit terbawa aliran hujan. Kini sisa-sisa material itu berubah karakter kembali.
Sebelum adanya abu Kelud, material hanya menjadi banjir lahar jika terjadi hujan berintensitas di atas 100 milimeter perjam. Namun sejak ada kandungan abu Kelud, material bisa terbawa hujan dengan intensitas sedang yakni 50 milimeter perjam saja.
"Ya memang jadi lebih licin. Pengaruh abu Kelud mempercepat terjadinya aliran banjjir lahar," ucap Subandriyo kepada Tribun Jogja (Tribunnews.com Network), Rabu (19/3/2014).
Berdasarkan morfologinya, sungai yang paling rentan terjadi banjir lahar hujan ialah di Kali Woro. Sungai tersebut berada di posisi terendah, sehingga aliran lahar hujan menumpuk di sana. Data BPPTKG Yogyakarta menunjukkan, sisa-sisa material erupsi Merapi itu tersebar di beberapa sungai yang berhulu di Merapi. Beberapa diantaranya yakni di Kali Putih ada 7 juta meter kubik material, di Kali Woro 3,9 juta meter kubik, di Kali Trisik ada 5,6 juta meter kubik, Kali Apu 8,7 juta meter kubik, Kali Pabelan 8,1 juta meter kubik serta Kali Gendol 19 juta meter kubik.
Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bencana di kawasan Merapi, BPPTKG juga terus melakukan perbaikan rutin di stasiun-stasiun pemantauan Merapi. Sebab, beberapa alat pemantauan rusak karena sudah berusia tua serta mengalami gangguan akibat terselimuti abu Kelud bulan lalu.
"Permukaan alat-alat pemantauan ada yang tertutup abu, sehingga harus dibersihkan agar data hasil pemantauannya lebih akurat," ucap alumnus Fisika UGM itu.
Beberapa stasiun pemantauan yang sudah diperbaiki yakni stasiun Plawangan, Deles, Klathakan dan Labuhan. Berikutnya, perawatan dan perbaikan akan menyasar ke stasiun lainnya secara bertahap. Tercatat, ada 10 stasiun seismic, 5 stasiun tiltmeter dan 14 stasiun Early Warning System (EWS) yang tersebar di Merapi.
"Perbaikan ini penting untuk akurasi datanya," tandasnya. (esa)