Ipin Peraih Kalpataru 2014, Menanam Pohon Membuat Situ Ciseupan Berair Kembali
Pepatah dianggapnya sebagai hal yang bermanfaat sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, M Syarif Abdussalam
TRIBUNNEWS.COM -- BAGI Ipin, pepatah dari orang tua merupakan amanat yang wajib dilaksanakan. Pepatah dianggapnya sebagai hal yang bermanfaat sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan. Semasa anak-anak, ibu Ipin memberinya sebuah pepatah yang kemudian menjadi pegangan hidupnya dalam melestarikan lingkungan hidup.
Isi pepatah itu menyatakan, jika hutan sudah rusak, bencana kekeringan akan melanda pada musim kemarau. Karenanya, masyarakat akan kesusahan mendapat air bersih. Sebaliknya pada musim hujan, banjir akan melanda melalui sungai dan dapat menyebabkan bencana lainnya.
Pepatah inilah yang menyemangati Ipin dalam melakukan hobinya sejak duduk di Sekolah Dasar, yakni menanam pohon di hutan dan lingkungan sekitar rumahnya. Ipin selalu mengisi waktu bermainnya dengan pergi ke hutan di kawasan Gunung Papandayan. Tempat ini tidak jauh dari rumahnya di Kampung Pasirsereh, Desa Sirnajaya, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut.
Sepulang sekolah, Ipin sering bermain ke hutan untuk menanam benih-benih pohon. Ipin sedih, begitu cepatnya manusia menebang pohon, sedangkan dibutuhkan waktu lama bagi pohon untuk tumbuh besar.
Ipin selalu melakukan hobinya ini secara sembunyi-sembunyi. Dia takut ditangkap penjaga hutan. Maklum, dalam pikiran Ipin kecil kala itu, penjaga hutan akan menghukumnya karena dia menyelinap ke hutan untuk menanam pohon.
Semakin dewasa, Ipin sadar bahwa menanam pohon di hutan bukanlah tindak kriminal. Dia pun semakin giat menanam pohon di bagian hutan yang gundul. Terlebih, hal yang ditakutkan olehnya dalam pepatah Sang Ibu mulai nampak di lingkungannya.
Danau atau Situ Ciseupan di dekat rumahnya mengering. Warga kesulitan mendapat air untuk mengairi lahan pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Ratusan pohon yang ditanamnya belum tumbuh cukup besar untuk mengembalikan kondisi alam lingkungan di sekitar Situ Ciseupan.
Kala itu, Ipin menjadi penjual gorengan di kampungnya. Setiap keuntungan yang didapatnya, digunakan untuk biaya pembenihan dan penanaman pohon. Untuk mendapat uang lebih banyak, Ipin menjadi tukang ojek. Lagi-lagi, keuntungan yang didapatnya digunakan untuk melestarikan lingkungan.
Ipin kemudian membangun jalan setapak menggunakan uang dan tenaganya sendiri. Lama- lama, jalan tersebut membentang sepanjang tiga kilometer, menghubungkan kawasan pertanian dengan permukiman warga. Dia pun semakin mudah dalam menjalankan pekerjaannya sebagai pengojek, mengangkut hasil tani atau pupuk.
Hasil dari kerja keras menghijaukan lingkungan sekitarnya membuahkan hasil. Situ Ciseupan kembali tergenang air, namun tidak terlalu dalam. Ipin kemudian mengalirkan air dari sumbernya di bukit Dayeuh Luhur. Menggunakan pipa dan selang sepanjang tiga kilometer, air pun mengalir ke Situ Ciseupan. Dari situ ini, air pun dialirkan ke masjid besar dan musala.
Ipin kemudian bekerja sebagai pegawai honorer di Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Hobinya menanam pohon sejak kecil membuatnya mengenal hampir seluruh tumbuhan di Gunung Papandayan. Dia pun kerap menjadi pembimbing akademisi ITB dan IPB dalam mengeksplorasi dan meneliti tumbuhan di Gunung Papandayan.
Lagi-lagi, Ipin menggunakan honor dari pekerjaannya untuk menata lingkungan dan membangun jalan ke kawasan pertanian. Pembangunan jalan ini kian mempermudah kerja sambilannya sebagai pengojek dan 29 rekan pengojeknya. Mereka tergabung dalam Komunitas Ojek Rawayan yang aktif dalam pemeliharaan lingkungan.
Kini Ipin berusia 52 tahun. Ipin sudah memiliki tiga anak dan dua cucu. Keluarga Ipin sangat mendukungnya dalam melestarikan lingkungan hidup, terutama istrinya. Walaupun menggunakan upah ojek dan honornya untuk pelestarian alam, Ipin masih dapat menghidupi keluarganya dengan layak dalam kesederhanaan.
Ipin mengatakan sekitar 42 hektare kawasan Gunung Papandayan telah ditanami selama ini. Puluhan kelompok pencinta lingkungan hidup dari berbagai daerah di Indonesia pun silih berganti menanam pohon bersamanya di Gunung Papandayan.
Dalam melakukan aksinya, Ipin tidak pernah meminta partisipasi atau bantuan dari pemeritah. Ipin beranggapan, apapun bisa dilakukannya jika memiliki niat yang kuat. Tidak pernah berpikir untuk banyak bicara atau meminta, Ipin hanya menggunakan waktunya untuk langsung berbuat tanpa pamrih.
"Karena upaya saya melestarikan alam, sejak bertahun-tahun lalu, banyak yang meminta saya untuk ajukan diri supaya mendapat Kalpataru. Tapi saya selalu menolaknya. Saya hanya melakukan yang saya bisa, tidak butuh penilaian dari orang lain atau pemerintah," kata Ipin saat ditemui di tepi Situ Ciseupan, Rabu (11/6).
Baru tahun ini, seorang rekannya meminta Ipin mendatangi Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Garut. Ipin mengira dirinya telah berbuat kesalahan dalam menata lingkungan dan akhirnya dipanggil dinas tersebut. Ipin kemudian memenuhi panggilan dinas dengan mendatangi kantornya.
"Tahunya, saya dijebak. Ternyata saya tidak berbuat kesalahan apapun. Melainkan, sesampainya di sana, saya diuruskan untuk menjadi nominasi yang mendapat Kalpataru. Akhirnya, saya meraih Anugerah Kalpataru dan diserahkan Presiden melalui Wakil Presiden Boediono di Istana Wakil Presiden, 5 Juni 2014," katanya sambil memperlihatkan penghargaan tersebut yang disimpan di lemari rumahnya.
Ipin meraih Anugerah Kalpataru atas jasanya sebagai perintis dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya dalam merehabilitasi lahan kritis di hulu Daerah Aliran Sungai Cibeureum Gede dan merevitalisasi fungsi Situ Ciseupan di Taman Wisata Alam Gunung Papandayan. (*)