Salim Marah Saat Ibundanya Minta Tak Bersikap Radikal
”Keluarga sudah terbiasa. Jadi dia mau apa kita juga biasa saja,” ujarnya.
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Dari empat bersaudara, hanya Salim Mubarok Attamimi yang ‘nyeleneh’. Pikirannya tiba-tiba berubah menjadi radikal.
Kini di usia 38 tahun, ia menjadi sorotan dunia karena prestasinya, berhasil merekrut pemuda Indonesia yang ingin bertempur di bawah bendera Daulah Islam fi Iraq wa Syam atau ISIS (Islam State Iraq and Syam/Syria).
Lahir di keluarga sederhana di Pasuruan, Salim kecil tak ubahnya anak-anak lain seusianya.
Salim tumbuh sebagai sosok yang taat dan patuh kepada orang tua. Di antara ketiga saudaranya, Salim yang paling tertarik memperdalam ilmu agama.
Salim memiliki dua kakak laki-laki dan satu perempuan. Dua kakak laki-lakinya tinggal di Surabaya, sedangkan kakak perempuannya tinggal di Malang bersama sang ibu.
Salim menghabiskan masa kecilnya di Pasuruan. Dia lahir di sana. Beranjak remaja, Salim pindah ke Malang.
”Awalnya dia itu biasa saja. Dengan saudara dan orang tuanya juga biasa-biasa saja. Namun, memang dengan dua saudara laki-lakinya, dia tidak begitu cocok. Apalagi kalau sudah menyangkut masalah jihad,” ujar seorang keluarga Salim yang mau berbagi menceritakan sosok Salim.
Kegetolannya memperdalam ilmu agama, membuat Salim ingin melanjutkan kuliah di Yaman.
Suami dari kakak pertamanya lah yang kemudian membiayai keberangkatan dan studi bapak tujuh anak itu di Yaman. Selepas kuliah dan lulus, Salim kembali ke Malang.
Sejak saat itu Salim berubah. Dia menjadi radikal dan tertarik dengan gerakan yang digelorakan Ustaz Abu Bakar Baasyir.
Salim mulai rajin mengajak diskusi keluarganya tentang jihad dan kekhilafahan.
”Dia juga banyak mendapatkan pengikut,” imbuhnya.
Salim getol sekali membahas masalah kewajiban bagi umat Islam untuk berjihad dengan mengangkat senjata di wilayah konflik seperti Iraq dan Suriah.
Tentu saja hal itu membuat ibunda Salim kaget. Pernah suatu ketika, ibunya menasihati Salim agar tidak menganut faham radikal.
Bukannya mengiyakan, Salim malah marah. Apalagi tidak satupun dari saudaranya yang tertarik dengan faham yang dianutnya.
Tahun berlalu, pemikiran Salim berubah menjadi gerakan. Dia mulai mendapatkan banyak pengikut setelah rajin mengisi ceramah di berbagai daerah.
Keluarga juga mulai terbiasa dengan aktivitas Salim. Sejak empat tahun silam, Salim berangkat ke Suriah untuk ikut berperang melawan pemerintah Bashar Al Assad.
Sesekali dia pulang mengunjungi anak istri dan ibunya.
”Keluarga sudah terbiasa. Jadi dia mau apa kita juga biasa saja,” ujarnya.
Keluarga sudah merelakan Salim. Mereka angkat tangan dan menyerah membuat Salim menjalani hidup ’normal’ di Malang.
Salim pun demikian. Dia sudah enggan mendiskusikan apapun perihal aktivitasnya kepada keluarga.
Hanya, istri dan anak-anaknya menjadi orang terdekat yang mengikuti gerakan Salim.
Di dalam keluarga, Salim dikenal sebagai sosok yang keras dan tempramen.
Suatu hari, dia pernah memukul mata kakak perempuannya hanya karena menyalakan televisi saat waktu maghrib.
Insiden itu membuat kakaknya sakit hati dan merasa menyesal menyekolahkan Salim sampai ke Yaman.
”Kakaknya heran mengapa Salim menjadi begitu keras. Kadang ya nelangsa karena selama ini dialah yang memenuhi kebutuhan Salim selama berkuliah,” ungkapnya.
Kini, Salim dan keluarganya terpisah jarak antara Indonesia dan suriah. Bahkan, keluarga yakin salim tak akan pulang.
Keluarga masih bersyukur, Salim rutin menghubungi ibunya. Meski keras, dia sangat menghormati dan menyayangi ibunya yang sudah sepuh.
Ayah Salim sudah lama meninggal sehingga ibunya lah yang selama ini memenuhi kebutuhan rumah tangga. (idl)
Ikuti kisah Salim Mubarok Attamimi http://www.tribunnews.com/tag/salim-mubarok-attamimi/