Di Tarogong Beredar Raskin Tidak Layak Konsumsi
mereka mendapat jatah beras untuk rumah tangga miskin (raskin) dengan kondisi beras yang patah dan hampir bubuk, kotor, kuning dan banyak kerikilnya.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, GARUT - Malang benar nasib warga Desa Tarogong, Kecamatan Tarogongkidul. Bulan ini, mereka mendapat jatah beras untuk rumah tangga miskin (raskin) dengan kondisi beras yang patah dan hampir bubuk, berwarna kotor dan kekuningan, serta terdapat banyak gabah yang belum digiling dan batu kerikil.
Enur (65), warga Kampung Tarogong mengatakan rasa senang karena akan mendapat jatah raskin tiba-tiba berganti kecewa saat melihat kualitas raskin yang diterimanya.
Beras dengan keadaan demikian hanya layak dimakan hewan ternak karena mirip beras sisa di kios-kios pasar tradisional.
"Bagaimana mau dimakan, bau begini, berasnya hancur seperti mau jadi tepung. Tidak terbayang nanti kalau dimasak hasilnya seperti apa. Mungkin nanti malah bahaya buat kami yang memakannya," kata Enur, Jumat (15/8).
Hal serupa dikatakan Hendra (41). Menurut Hendra kualitas raskin seperti ini sangat tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Hendra pun sangat menyesalkan Bulog yang tidak selektif dalam memilih raskin yang akan didistribusikan kepada masyarakat.
"Selama ini kualitas raskin yang diterima selalu jelek. Tapi yang dibagikan Agustus ini yang paling parah. Raskin yang diterima kali ini mungkin tersimpan sangat lama di gudang," kata Hendra.
Hendra meminta Pemerintah Kabupaten Garut lebih tegas dalam menyikapi permasalahan klasik ihwal raskin ini. Menurut Hendra, sering terjadi keluhan masyarakat atau pemerintah desa atas buruknya kualitas raskin serta penyusutan bobot per karung.
Akibat kualitas raskin yang buruk, warga Desa Tarogong harus menampi ulang beras tersebut. Hanya sekitar 10 persen dari beras tersebut yang bisa dimakan. Sisanya berupa gabah dan bubuk beras yang langsung dimakan ayam.
Kepala Gudang Bulog Garut, Dadang Hidayat, mengatakan kualitas raskin yang didistribusikan ke Desa Tarogong itu tidak layak dikonsumsi manusia. Bahkan Bulog langsung ke desa tersebut untuk menindaklanjuti laporannya.
"Jangankan untuk didistribusikan, untuk masuk ke Gudang Bulog saja beras dalam kondisi seperti itu tidak layak. Kalau saja kami tahu sebelum raskin itu didistribusikan, pasti akan kami cegah agar tidak didistribusikan. Personel kami sangat terbatas untuk mengawasi distribusi sekitar 2.700 ton per bulan," kata Dadang.
Terkait dengan pengawasan kualitas raskin dari sembilan rekanan yang masuk ke Gudang Bulog, Dadang mengatakan tidak semuanya bisa diperiksa karena banyaknya raskin yang menumpuk di empat gudang. Akibatnya hanya sekitar 5 persen beras yang terpantau kualitasnya.
Sayangnya raskin berkualitas buruk tersebut terpaksa dibagikan kepada warga. Alasannya Bulog tidak memiliki biaya mengangkut beras rusak tersebut kembali ke gudang dan menggantinya dengan yang baru. (sam)