Makin Mandiri Ekonomi, Makin Berani Ajukan Gugatan Cerai
Kalau hakim berhasil mendamaikan pasangan yang berperkara, hakim itu akan mendapatkan credit point (nilai tambah).
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Banyak faktor yang menyebabkan semakin banyak istri menggugat cerai suami, di antaranya meningkatnya kesadaran dan keberanian perempuan menuntut hak-haknya.
Faktor lain adalah kemandirian ekonomi. Dulu, sekalipun teraniaya, istri cenderung tak berani melawan, apalagi menggugat cerai.
Mereka merasa hidup bergantung pada suami, yang menjadi sumber nafkah.
Zaman berubah, akses ekonomi semakin terbuka bagi perempuan. Banyak ibu rumah tangga berpenghasilan sendiri.
Tak hanya sekadar membantu suami, banyak yang bahkan income-nya lebih tinggi dan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Nah, para istri yang berpenghasilan tinggi inilah yang semakin berani mengambil berbagai keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan menggugat cerai suami. Ia merasa mampu membiayai diri sendiri dan anak.
Yang masuk kelompok mandiri secara ekonomi adalah para TKW (tenaga kerja wanita).
Karenanya, angka perceraian di keluarga TKW tinggi. Kabupaten Malang dan Banyuwangi adalah dua daerah dengan angka perceraian tertinggi di Jatim.
Dua kota ini pula yang menjadi pengirim TKI terbanyak di Jatim.
Meski demikian, ada juga kasus cerai karena suami atau istri menjalin asmara dengan orang lain, gara-gara mereka terlalu lama berpisah.
Kelompok yang juga cukup banyak bercerai adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), khususnya guru. Tren guru-guru perempuan menggugat cerai suami terus meningkat.
Bisa jadi, ini karena tingkat kemandirian guru perempuan, secara finansial sudah cukup tinggi sejak adanya tunjangan sertifikasi.
Faktor akses informasi yang makin terbuka turut juga mempengaruhi. Ini memungkinkan mereka sama-sama memiliki peluang agar gugatan dikabulkan pengadilan.
Saya kira perubahan status Pengadilan Agama juga sedikit banyak turut berpengaruh.
Sejak UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman diberlakukan, Pengadilan Agama yang semula di bawah naungan Kementerian Agama beralih ke Mahkamah Agung.
Di dua institusi ini, menurut saya ada perbedaan penting. Di bawah Mahkamah Agung, seorang hakim PA dituntut untuk cepat memutuskan semua perkara yang masuk.
Hal ini kemudian menyebabkan majelis hakim bisa dengan mudah mengabulkan permohonan cerai tanpa terlalu terbeban mendamaikan pasangan.
Sementara ketika Pengadilan Agama masih berada di bawah Kemenag, hakim didorong untuk mengupayakan agar pasangan yang berperkara tidak sampai bercerai.
Kalau hakim berhasil mendamaikan pasangan yang berperkara, hakim itu akan mendapatkan credit point (nilai tambah).
Menyikapi tingginya angka perceraian, Kanwil Kemenag Jawa Timur ke depan tetap akan lebih mengupayakan langkah antisipatif dengan meningkatkan bimbingan pranikah.
Dengan demikian, sejak awal, pasangan yang akan menikah semakin mantap dan memiliki kesiapan mental agar ke setelah menikah kelak tidak sampai bercerai. Masalah rumah tangga bisa diselesaikan secara baik-baik.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.