Edi Menderita Penyakit Langka, Tubuh Penuh Benjolan
Sementara Edi tidak mampu bekerja dengan kondisi tubuh yang mengenaskan seperti itu.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Siapa pun di dunia ini tidak ingin dilahirkan sebagai manusia yang menderita penyakit langka.
Pun tidak terkecuali bagi Edi Susanto, warga Dusun Lembar RT 01 RW 04, Desa Polengan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Edi didiagnosis menderita penyakit neurofibromatosis (NF).
Akibat penyakit ini, nyaris seluruh tubuh laki-laki 30 tahun itu tertutup oleh benjolan-benjolan seperti daging lembut. Edi menceritakan, penyakit tersebut muncul sejak usianya 15 tahun. Semula, benjolan itu hanya tumbuh kecil di kepala bagian belakang. Ia juga tidak merasakan sakit atau hal aneh lainnya.
“Waktu itu saya masih SMP. Cuma ada benjolan di kepala. Rasanya biasa saja, tidak sakit,” ujar Edi saat Kompas.com berkunjung ke rumahnya, Selasa (7/10/2014).
Namun, kata Edi, lambat laun benjolan-benjolan itu semakin banyak tumbuh di badan, tangan, kaki, wajah, hingga kepala.
Bahkan, punggungnya tampak semakin membungkuk. Lalu terdapat satu benjolan yang lebih besar pernah tumbuh di bagian paha sebelah kanannya. Pada tahun 2011, benjolan tersebut dioperasi di Rumah Sakit Prof Dr Sardjito, Yogyakarta.
“Ketika itu persis satu tahun pasca-erupsi Merapi 2010, saya pulang dari pengungsian, benjolan daging yang kian membesar itu dioperasi. Waktu ditimbang, beratnya sampai 1,5 kilogram,” tutur Edi.
Setelah operasi tersebut, lanjut Edi, dia tidak pernah lagi memeriksakan diri. Hanya sesekali jika badannya terasa sakit, ia berobat ke bidan desa setempat. Belakangan ini, kata Edi, ia sering merasakan sakit kepala, badannya juga terasa sering capek. Edi pun meredakannya sebatas dengan mengonsumsi obat-obatan yang ia beli di warung.
Edi mengaku tidak mampu memeriksakan diri ke rumah sakit atau dokter spesialis dengan alasan keterbatasan ekonomi. Kedua orangtuanya, Mujiyem (49) dan Sabar (50), hanya seorang buruh bangunan. Mereka juga masih harus menanggung biaya sekolah adik bungsu Edi.
Sementara Edi tidak mampu bekerja dengan kondisi tubuh yang mengenaskan seperti itu. Beruntung, ada pamannya yang berbaik hati memberinya pekerjaan meski hanya sebagai penjaga warung kelontong di kampungnya.
“Sehari-hari saya jaga warung milik pakde (paman). Sejak lulus SMP 1 Srumbung, saya tidak melanjutkan sekolah karena sempat lumpuh,” ujar laki-laki berkacamata itu.
Edi memang pernah mengalami kelumpuhan selama dua tahun setelah lulus sekolah menengah. Praktis ia tidak bisa melanjutkan sekolah, apalagi bekerja. Namun, kelumpuhan yang ia derita berhasil sembuh berkat pengobatan alternatif yang ia jalani.
“Dulu sih punya Jamkesmas, waktu operasi juga pakai Jamkesmas dan ada keringanan biaya karena kami termasuk korban erupsi Merapi. Tapi sekarang tidak punya, saya tidak tahu bagaimana mendapatkannya (Jamkesmas) lagi,” ujar Edi.
Saat ini, Edi hanya bisa berharap ada seorang dermawan yang bisa membantunya untuk berobat meskipun ia tahu bahwa penyakit yang ia derita tersebut tergolong langka dan belum ada obatnya. Bahkan, laki-laki kelahiran 12 November 1983 itu mengaku rela menjadi “kelinci percobaan” oleh para dokter ataupun para ahli untuk meneliti penyakitnya itu.
“Sekalipun saya jadi bahan penelitian karena penyakit ini, saya bersedia. Saya ingin sembuh, bisa bekerja layak, dan membantu keluarga saya,” harap Edi.
Murjiyem, ibu Edi Susanto, menceritakan bahwa dahulu anak sulung itu lahir normal seperti bayi pada umumnya. Edi juga tumbuh sebagai anak laki-laki biasa, sekolah dan bermain bersama teman-teman sebayanya. Meski neuorofibromatosis termasuk penyakit keturunan, menurut Murjiyem, tidak ada keluarganya yang menderita penyakit serupa.
“Setahu saya tidak ada simbah (nenek dan kakek) ataupun keluarganya yang begini (menderita neurofibromatosis). Saya dan suami juga tidak memiliki hubungan saudara,” tandas Murjiyem.
Murjiyem mengatakan, Edi termasuk anak yang tidak pantang menyerah. Edi rajin mencari informasi baik lewat buku maupun internet tentang penyakitnya tersebut. Edi juga tergolong orang yang tidak rendah diri bergaul dengan teman-teman, saudara, dan lingkungan sekitar.
“Saya bersyukur, teman-temannya, saudara, tetangga semua baik sama Edi. Tetapi, saya selalu berharap dan berdoa untuk kesembuhan Edi,” ujar Murjiyem.
Penulis: Kontributor Magelang, Ika Fitriana