Tembak Kaki Buat Obat Gemas Bagi Penjahat Yang Tak Jera
“Saya misalnya, nangkap penjahat jalanan kelas kakap. Tapi ternyata hanya divonis 8 bulan penjara,” kata sumber surya yang namanya dirahasiakan.
TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Aksi penjahat di Jatim terutama di kota seperti Surabaya dan Malang sudah terlalu sadis. Mereka kerap melukai bahkan menewaskan korbannya.
Selama tidak ada anggota kawanan yang tertangkap, aksi mereka juga makin menjadi-jadi.
Tren perampokan minimarket dengan menggunakan senjata dan senpi misalnya, menjadi aksi berantai hingga membuat keresahan luar biasa.
Keputusan menjatuhkan hukuman tembak kaki diperlukan untuk mengembalikan rasa tenang masyarakat yang terlanjur cemas dengan aksi-aksi sadis para penjahat.
Faktor lain yang mendorong aksi polisi tembak kaki adalah vonis pengadilan yang seringkali dinilainya tidak setimpal dengan kejahatan dan kesadisan pelaku.
“Saya misalnya, nangkap penjahat jalanan kelas kakap. Tapi ternyata hanya divonis 8 bulan penjara,” kata sumber surya yang namanya dirahasiakan.
Vonis rendah itu membuat sakit hati petugas di lapangan.
Mereka susah payah memburu dan bertaruh nyawa saat penangkapan.
”Eh ending-nya, cuma 8 bulan. Rasanya, sakitnya itu di sini, Pak,” katanya mencuplik syair dangdut yang cukup populer sekarang ini.
Vonis ringan itu sama sekali tidak memiliki efek jera. Ujung-ujungnya setelah bebas dari penjara mereka turun ke jalan lagi dan lebih sadis.
“Berkali-kali saya ini menangkap penjahat yang pernah masuk (penjara)," katanya.
Nah mereka yang ketangkep bolak-balik ini, yang biasanya kemudian dihadiahi tembak kaki.
Mereka menyebut aksi itu sebagai obat gemas pada mereka yang tidak jera pada vonis pengadilan.
“Jadi kami juga pilih-pilih untuk memberi hadiah. Kalau dia (pelaku) tidak kebacut (keterlaluan), tembak kaki tidak akan dilakukan. Hanya para tersangka yang memiliki kadar kejahatan di luar batas. Wong sudah ditembak saja, masih ada yang tidak kapok. Apalagi kalau kita tidak tegas,” tandasnya.
Sebenarnya, kata dia, menembak tersangka bukan tanpa resiko.
Dia juga khawatir tersangka yang ditembak dan keluarganya menaruh dendam.
Dendam itu lantas dialamatkan kepadanya dan keluarga. Karena itu dia sangat selektif mengeksekusi tersangka.
Polisi lain, yang cukup lama menjadi anggota tim buru sergap (buser) Reserse Mobile (Resmob) di Surabaya mengatakan penembakan dilakukannya karena situasi berbahaya.
Perwira ini memiliki banyak pengalaman selama menyelidiki kasus perampokan dan kejahatan jalanan yang melibatkan komplotan bengis.
“Salah posisi, nyawa kami yang melayang. Kami tidak tahu apa yang mereka bawa. Dengan jarak yang cukup dekat, sesuatu (yang buruk) bisa saja terjadi,” ungkapnya.
Pergerakan tangan pelaku dari balik bajunya, sudah membuat polisi waspada. Dia dan rekan-rekannya segera menodongkan senjata sebelum melontarkan tembakan peringatan ke atas atau bawah.
Tembakan itu bertujuan sebagai peruntuh mental buruan agar menyerah tanpa melawan terlebih dahulu.
“Begitu ada gerakan yang mengarah ke kami, kami memahaminya sebagai gerakan yang berbahaya. Kami bisa menembak pelaku tanpa harus memperingatkannya dulu. Tembakan sifatnya bisa melumpuhkan atau bahkan mematikan. Tergantung kondisi di lapangan,” ujarnya.
Dia mencontohkan, pada Desember 2011 silam, dua anggota Polsek Simokerto nyaris terbunuh karena serangan dua perampas motor di Jalan Sutorejo.
Celurit pelaku sempat mengenai dada polisi. Akibat serangan itu, polisi harus menjalani perawatan intensif. Polisi akhirnya menembak mati dua pelaku.
Tapi dia pun mengakui, beberapa aksi tembak kaki dilakukan tidak sesuai prosedur. Langkah itu sebagai shock therapy agar pelaku lain tidak nekat bergerak.
Untuk menembak kaki pelaku pun, dia dan rekan-rekannya harus memperhitungkan banyak hal. Paling utama adalah sepak terjang pelaku.
Titik tembakan pun disesuaikan dengan kadar kesadisan pelaku.
Untuk tembakan tembus tanpa mengena tulang, biasanya diberikan pada pelaku yang belum pernah ditangkap meski sudah beraksi beberapa kali.
Tembakan yang mengenai persendian, seperti lutut dan mata kaki, biasa dihadiahkan kepada pelaku berlabel kawakan.
Untuk tembak mati, biasanya pelaku dengan grade ’kakap’. Pelaku ini berlebel sadis dan bengis.
Namun dia enggan menjabarkan bagaimana proses penembakan itu dilakukan. (tim lipsus surya)