Tangkal Petir, Warga Jombang Gelar Tradisi Clorotan
“Tujuannya agar saat pergi dan mengolah sawah mengawali musim tanam tidak tersambar petir. Dan alhamdulillah selama ini warga kami tidak ada yang ters
TRIBUNNEWS.COM,JOMBANG - Datangnya musim hujan menjadi berkah para petani.
Sebab, sawah milik mereka dipastikan tidak akan kekurangan air. Namun, musim hujan juga bisa menjadi bahaya. Sebab, petir bisa menyambar petani sedang menanam padi di sawah.
Itu sebab, warga Dusun Banjarsari, Desa/Kecamatan Bareng, setiap tahun menjelang musim tanam, selalu menggelar tradisi Clorotan.
Yakni ritual menangkal petir dengan cara menyantap secara bersama-sama sejumlah kue, yang diantaranya disebut kue clorotan, sebuah kue khas setempat.
Sejak pagi, ratusan warga berkumpul di makam dusun setempat, yang di dalamnya terdapat makam Mbah Kudus.
Mbah Kudus ini diyakini sebagai tokoh yang zaman dulu membuka hutan dan kemudian menjadikannya sebuah dusun, disebut Dusun Banjarsari.
Warga yang datang membawa bungkusan berisi makanan yang diantaranya kue clorotan.
Selain kue clorotan, yang harus ada dalam bungkusan untuk selamatan itu adalah berondong jagung (pop corn), kue pasung, dan kerupuk. Keempat jenis jajanan mempunyai makna masing-masing.
Kue clorotan terbuat dari tepung dicampur gula, kemudian dibungkus janur, atau daun kelapa muda, dibentuk menyerupai terompet. Clorotan sebagai simbol kilat, yang biasanya mendahulu datangnya petir dan guruh.
Kemudian ada kue pasung, yang merupakan simbol petir atau.
“Bahannya sama dengan clorotan, yaitu tepung dicampur gula. Yang membedakan, jika clorotan dibungkus daun kelapa muda, maka kue pasung dibungkus daun nangka. Selain itu pasung mirip granat. Simbol dari ‘geluduk’ atau petir,” kata Kepala Dusun Banjarsari, Siswanto.
Selain pasung dan clorotan, ada kue brondong. Ini simbol dari guruh, yang biasanya mendahului datangnya geledek. Dan terakhir jajanan kerupuk.
“Ini simbol angin topan atau puting beliung. Kita berharap tidak ada angin yang membawa bencana bagi petani,” kata Siswanto.
Setelah seluruh warga datang, Kepala Dusun (Kasun) Banjarsari Siswanto memulai prosesi Clorotan itu.
Ia mengawali dengan wejangan mengenai acara clorotan ini, yang intinya merupakan adat yang harus dilestarikan demi keseimbangan alam.
Warga dengan khidmad mengikuti acara wejangan itu hingga selesai.
Usai itu, Kasmidjo, sesepuh yang merupakan tokoh adat dusun setempat menyampaikan niat para warga untuk meminta perlindungan keselamatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa dari bencana geledek dan lain-lainya.
Ritual disambung dengan doa yang dibawakan modin dusun setempat. Ritual dipuncaki dengan menyantap bersama makanan yang dibawa masing-masing warga, dengan cara saling ditukarkan.
Karena makanan cukup berlimpah, sebagian dibawa pulang ke rumah masing-masing.
Menurut Siswanto, tradisi clorotan ini sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu dan selalu dilakukan setiap tahun menjelang musim tanam dan digelar pada hari Jumat Pahing.
“Tujuannya agar saat pergi dan mengolah sawah mengawali musim tanam tidak tersambar petir. Dan alhamdulillah selama ini warga kami tidak ada yang tersambar petir maupun terkena angin puting beliung,” tambahnya.
Siswanto menjelaskan, beberapa waktu lalu, tradisi ini sempat vakum. Sebab, arus modernisasi membuat sebagian besar warga meninggalkan tradisi ini.
Namun, dengan banyaknya peristiwa gagal panen, mereka pun mulai kembali menghidupkan tradisi ini.
“Saya merasa senang, karena ini merupakan tradisi atau budaya yang harus dilestarikan. Di tempat lain, tidak ada budaya seperti ini,” jelasnya.
Disinggung terkait dengan pelaksanaan tradisi clorotan ini ditempatkan di makam dusun, Siswanto menerangkan, jika hal ini dilakukan untuk menghormati para leluhur Dusun Banjarsari.
Sebab, di tempat inilah sesepuh dusun dimakamkan.
“Di sini ada makam Mbah Kudus, yang membuka hutan untuk dijadikan dusun Banjarsari. Dan memang tradisinya, selalu digelar di sini,” terangnya.(uto)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.