Mengenal Prosesi Pemakaman Jenazah Menurut Warga Samin Kudus
"Dalam komunitas Samin, istilah khas untuk orang meninggal dunia adalah salin sandangan. Pemakaman beliau dihadiri berbagai kalangan."
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Yayan Isro Roziki
TRIBUNNEWS.COM, KUDUS - Komunitas warga Samin di Undaan, Kudus, Jawa Tengah, sedang berduka. Tokoh mereka, Sumarsono atau Mbah Sumar meninggal dunia, Selasa (10/3/2015). Upacara adat digelar untuk pemakaman Mbah Sumar.
Mbah Sumar adalah tokoh masyarakat Samin yang lahir di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kudus, pada 19 Mei 1917. Dia merupakan ayah dari tokoh Samin, Budi Santoso.
"Dalam komunitas Samin, istilah khas untuk orang meninggal dunia adalah salin sandangan. Pemakaman beliau dihadiri berbagai kalangan. Ada perangkat desa, tokoh Muslim, warga non-Samin dan Samin," kata peneliti Samin Moh Rosyid, Rabu (11/3/2015).
Dosen STAIN Kudus itu menjelaskan, ada perbedaan dalam prosesi pemakaman dalam tradisi Samin dan non-Samin. Dalam tradisi Samin, ada jenazah yang dimandikan dan ada juga yang tak dimandikan.
"Bagi yang tak dimandikan jenazahnya, karena keluarga dan warga Samin yang ditinggalkan beranggapan jenazah tersebut tatkala masih hidup dapat dicontoh perilaku bijaknya," urainya.
Sebaliknya, lanjut dia, bila jenazahnya dimandikan, dimungkinkan tatkala masih hidup, memiliki kekurangan dan kesalahan. Sehingga dengan dimandikan membersihkan dosa tatkala hidup.
"Pun, jenazah ada yang dikafani dengan kain mori (kain kafan) ada pula yang memakai pakaian adat," sambung dia.
Ia menambahkan, ada pandangan berbeda untuk jenazah Mbah Sumar. Keris Jangkung yang dimilikinya semasa masih hidup disematkan di jenazah Mbah Sumar.
"Karena tatkala hidup sebagai 'mitra' hidupnya dan tatkala meninggalkan didekatkan dengan jenazah. Ketika masih hidup, keris Mbah Sumar tersebut diwariskan kepada anaknya," lanjutnya.
Menurutnya, warga Samin adalah pemeluk agama Adam, sehingga jenazah tidak disalatkan. Setelah pemakaman, tradisi yang dilakukan adalah mendoakan arwah dengan brokohan (slametan).
"Hal yang menarik dalam konteks penghormatan/toleransi, Kepala Desa Karangrowo tatkala melayat, warga Samin meminta izin agar kerbau yang disembelih untuk menghormati pelayat (untuk makan siang) diperbolehkan dipotong dengan adat Samin. Pemotongannya sebagaimana warga non-Samin hanya doa penyembelihannya dengan rapalan Jawa. Persetujuan Kepala Desa seperti ini tak akan terjadi pada era Orde Baru," tuturnya.
Perlu diketahui, warga Samin memiliki doa yang mereka panjatkan untuk jenazah: “Mugiyo sapto murtining bawana, langgeng swargi enggal-enggal saget kondur menunggal dateng mula-mulanipun manet pranataning jagat. Mugi keluargo ingkang katilar, senantiyoso pinaringan tatag, titis, tanggon, rahayu, raharjo jayeng gesang anggenipun samya netepi tugas gesangipun, satuhu.”