Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita Keganasan 'Monster Sangatta' Pemakan Manusia

"Monster Sangatta." Istilah ini sering disematkan warga Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur kepada buaya yang menerkam dan memangsa manusia.

Editor: Rendy Sadikin
zoom-in Cerita Keganasan 'Monster Sangatta' Pemakan Manusia
TRIBUNNEWS.COM/FX ISMANTO
MONSTER SANGGATA - Dalam rangka pameran Sei Makaham di Bentara Budaya Jakarta, 7-16 November 2014, awetan buaya Monster Sangatta itu dibawa ke Jakarta. Usaha ini dilakukan atas kerja sama BBJ dengan Yayasan Total Indonesia dan para pemangku kepentingan di Kalimantan Timur. Tampak seorang ibu sedang mengganti sajen untuk sepang awetan buaya Monster Sanggatta yang dipamerkan, Jumat (7/11/2014) yang bertempat di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). TRIBUNNEWS.COM/FX ISMANTO 

Laporan Wartawan TRIBUN KALTIM, Kholish Chered

TRIBUNNEWS.COM, SANGATTA - "Monster Sangatta." Istilah ini sering disematkan warga Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur kepada buaya yang menerkam dan memangsa manusia.

[BACA: Buaya Ketujuh Dibelah dan Potongan Jasad Andry pun Ditemukan]

Setiap kali ada buaya memangsa orang, warga biasanya menggunakan jasa pawang buaya untuk menemukan binatang buas si pemangsa agar dapat menemukan jasad korbannya.

Yusran salah satunya, telah teruji berkali-kali menangkap buaya.

Ia pernah menjinakkan buaya sepanjang lima meter seberat 400 kilogram. Warga Kelurahan Guntung, Kota Bontang, Kalimantan Timur itu sudah 18 kali melumpuhkan buaya.

Berita Rekomendasi

"Kami dapat informasi dari paman Anto bahwa ada yang lebih dekat dan lebih baik. Karena itu kami minta tolong bantuannya. Tidak perlu jauh-jauh ke Sangatta," ujar kakek Anto Abdul Fatah saat ditemui TribunKaltim.co di kediaman keluarga Anto, Desa Santan Ilir, Kecamatan Marangkayu, Kukar, dalam satu kesempatan.

Awalnya keluarga Anto akan memanggil pawang yang menaklukkan 'Monster Sangatta'.

Pawang yang menggantikan pawang 'Monster Sangatta' itu bernama Yusran.

Saat ditemui usai Salat Ghaib, pria berusia 66 tahun ini mengaku sebagai korban keganasan buaya, termasuk buaya di Sungai Santan.

Yusran yang menggunakan peci haji dan sorban melingkar di lehernya menceritakan, dulu anak kandungnya pernah menjadi korban buaya Guntung.

"Saat itu saya naikkan 27 buaya untuk mencari pelaku sesungguhnya dan alhamdulillah berhasil," ujar Yusran.

Korban keganasan Sungai Santan, 2007 lalu tak lain adalah cucu Yusran.

Ia menduga buaya yang memangsa Anto adalah buaya yang pernah memangsa cucunya.

Yusran mengaku telah menurunkan satu butir telor ayam kampung, pinang dan daun siri dan tembakau ke Sungai Santan.

Ritual itu dilakukan untuk menghormati roh-roh pendahulu yang menghuni daerah sekitar Sungai Santan.

"Ini dulu ajaran kedewaan untuk menghormati pendahulu kita," katanya.

Setelah itu, tepat pukul 22.00 wita, Yusran, Bagi dan Samad turun ke Sungai Santan hanya dengan perahu kecil dan dayung.

Tidak ada senjata tajam yang mereka bawa. Hanya berbekal bambu dan tali.

"Mudah-mudahan malam ini kita bisa segera menemukannya," ujarnya.

Ia belum mengetahui secara pasti apakah buaya tersebut masih berkeliaran di Sungai Santan atau bersembunyi di anak-anak sungai.

Yang pasti kata Yusran, buaya-buaya itu bukan buaya jadi- jadian seperti yang dikisahkan banyak orang.

"Buaya ini disisihkan dari kelompoknya karena terpengaruh roh-roh buaya dulu. Makanya dia bersalah," ujar pawang yang pernah menangkap buaya paling besar sepanjang tiga meter dengan berat sekitar 80 kg.

Monster Sangatta

Ada dua ekor buaya "raksasa" dari Kalimantan Timur sering dipamerkan.

Tahun lalu, misalnya, kedua ekor buaya yang telah diawetkan itu dibawa ke arena pameran Sei Makaham di Bentara Budaya Jakarta, tanggal 7 sampai 16 November 2014.

Kedua ekor buaya muara monster Sangatta ini pernah menggegerkan masyarakat Kaltim pada tahun 1996 karena telah memangsa dua manusia di dua tempat terpisah hanya dalam selisih waktu satu bulan.

Lalu penduduk memburu dan membunuh kedua buaya ini untuk mengeluarkan potongan tubuh korban yang tertinggal di dalam perutnya.

Buaya pertama yang memangsa Ny Hairani (35) ditangkap pada 8 Maret 1996 di sungai Kenyamukan, Kecamatan Sangatta (kini masuk wilayah Kabupaten Kutai Timur).

Buaya ini berkelamin jantan berusia sekitar 70 tahun, panjang sekitar 6,6 meter, berat 350 kg dan lingkar perut 1,8 meter.

Informasi yang diperoleh Tribun dari beberapa warga Kenyamukan, saat kejadian, korban sedang mencuci beras dan peralatan dapur di tepi sungai.

Tak lama kemudian, buaya mengibasnya. Setelah terjatuh ke sungai, korban langsung diseret.

"Buaya berhasil ditemukan setelah warga menggunakan bom ikan di tempat yang diduga menjadi lokasi keberadaan buaya. Setelah itu buaya langsung ditembak. Setelah perutnya dibelah oleh salah satu dokter Puskesmas Sangatta Selatan, ditemukanlah jasad korban di dalamnya," kata warga, Nazaruddin Hafid.

Sementara buaya kedua yang memangsa seorang pria bernama Baddu (40) di Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak (Kabupaten Kukar) ditangkap pada tanggal 10 April 1996.

Buaya berkelamin betina ini memiliki panjang 5,5 meter, berat 200 kg dengan lingkar perut sekitar 1 meter.

Setelah itu, kedua buaya yang dijuluki "monster dari Sangatta" tersebut diawetkan dan dipajang di Museum Kayu Tuah Himba, Kota Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara.

Selain kedua buaya tersebut, masih ada jasad seekor buaya besar yang diawetkan warga.

Saat ini jasad buaya masih berada di sekitar Mapolsek Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur.

Buaya tersebut memangsa Sahar, warga Desa Takat, Kecamatan Sandaran, tanggal 15 Maret 2010 lalu.

Kepada Tribun, Paman Sahar, Aminuddin, dan Bahtiar, teman Sahar, yang menjadi saksi tragedi itu menceritakan tali pengikat kapal Sahar tersangkut, sehingga kapalnya miring lalu tenggelam.

Bahtiar langsung menyelam ke sungai untuk melepas tali. Sedangkan Sahar menyusul terjun.

Setelah Bahtiar muncul ke permukaan, air di sekitarnya sudah bercampur darah dan Sahar sudah tidak ada.

Seorang bocah, Rijal, yang melihat dari dermaga mengatakan Sahar dilibas dengan ekor buaya sehingga terlempar.

Setelah itu buaya menyambar dengan mulutnya, lalu masuk dalam sungai.

Peristiwa ini hanya berlangsung beberapa detik. Tak lama kemudian, warga dan aparat langsung menyisir sungai.

Lewat tengah hari, mereka menemukan buaya tersebut di anak sungai. Sniper TNI AL lantas menembaknya 10 kali.

Setelah mati, buaya dibawa ke daratan dan dibelah untuk mengeluarkan jasad Sahar.

Selama di Takat, Tribun mendengar banyak warga yang mempercayai faktor mitos sebagai alasan buaya memangsa manusia.

Terutama tentang "kepuhunan", bersumpah sembarangan, juga pelanggaran terhadap beberapa pantangan.

Tentang mitos kepuhunan, Sahar dianggap warga mengalaminya. Ceritanya, ia sangat ingin makan pulut (ketan yang dimakan dengan kelapa--red).

Keluarga pun membuatkannya. Namun saat ia ingin makan ternyata sudah habis. Tak lama kemudian, ia turun ke sungai dan terjadilah peristiwa itu.

Ada lagi sumber yang menyatakan Sahar sempat sesumbar saat melihat pertandingan sepakbola antara Desa Susuk dan Sangkulirang beberapa pekan lalu.

Susuk biasanya selalu menang. Hingga Sahar menyatakan, rela dimakan buaya bila Susuk kalah.

Saat itu tanpa diduga Susuk kalah 5-0. Cerita sumpah semacam ini juga pernah terjadi di Desa Wono.

Warga juga bercerita tentang firasat. Semalam sebelum kejadian, Sahar tampak murung, padahal rekan-rekannya sedang berkumpul membakar ikan.

Tidak biasanya ia hanya bicara bila diajak bicara. Ia juga biasa bangun tidur di atas pukul 09.00.

Entah mengapa pagi itu ia bangun sekitar pukul 07.00.

Sumber: Tribun Kaltim
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas