Kisah Suryani Menderita Folio Jadi Pengusaha Beromzet Miliaran Rupiah
Irma Suryani seorang wanita yang menderita folio sejak usia 4 tahun, kini menjadi pengusaha kain perca sukses.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, JEPARA- Irma Suryani seorang wanita yang menderita folio sejak usia 4 tahun, kini menjadi pengusaha kain perca sukses.
Omzet perbulan sudah mencapai miliaran rupiah, memiliki 59 karyawan tersebar di Indonesia dan produknya sudah ekspor ke Australia.
Suka duka sudah dilaluinya sejak merintis usaha pertama kali. Bahkan dulu sebelum menjahit sisa-sisa kain dari pabrik garmen menjadi kain perca, dia berulang kali melamar kerja di perusahaan namun selalu ditolak karena kondisi fisiknya. Sejak saat itu dia bangkit mengembangkan usaha bermodal keahliannya menjahit.
Tanggal 20 April 2015, Irma Suryani tampil dalam acara Kick Andy Metro TV, bersama Andy F Noya dalam kemasan peringatan Hari Kartini di Auditorium Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Kabupaten Jepara.
Dia memberi motivasi di hadapan ratusan perempuan yang hadir di lokasi itu, rangkaian acara Festival Kartini ke-3.
"Sejak umur empat tahun saya harus berjalan menggunakan bantuan tongkat. Saat lahir tidak apa-apa, baru saat usia empat tahun, dokter menyatakan bahwa saya terkena folio," terang Irma Suryani.
Perempuan yang kini bertempat tinggal di Desa Karangsari, Kecamatan Buayan, Kebumen itu kini memerkerjakan karyawan 59 ribu orang di 17 kabupaten dengan omset perbulan mencapai miliaran rupiah. Kesuksesannya itu dia araih dan digeluti bersama suaminya, Agus Priyanto.
Awal menggeluti pembuatan keset dengan kain perca, dia mendapatkan ide sekitar tahun 2000 an saat bertempat tinggal di Kabupaten Semarang, tepatnya Pringapus, Ungaran.
Tempat tinggalnya banyak berdiri pabrik garmen. Perempuan yang baru saja umroh ini prihatin soal limbah yang dibakar dan dibuang begitu saja.
"Daripada merusak lingkungan mending saya bawa saja ke rumah. Saat itu saya datang ke pabrik itu dan disuruh bawa sisa kainnya itu sebanyak satu truk. Kemudian saya menyewa truk untuk mengangkutnya," kata ibu lima anak ini.
"Awalnya hanya memproduksi beberapa saja. Yang belipun hanya tetangga. Lama kelamaan banyak yang beli," ucapnya.
Tahun 2002 usahanya makin besar. Sebanyak 30 karyawan pun telah mengabdi pada dirinya. Tiga kios dibelikannya di Pasar Karangjati Kabupaten Semarang. Namun tiga kios miliknya dan seluruh isinya habis dilalap si jago merah.
"Tuhan memang memberikan jalan demikian. Setelah itu saya tidak punya apa-apa. Sehingga saya pindah ke Kebumen," katanya.
Di Kebumen dia mengajukan proposal bantuan ke Rustriningsih yang saat itu menjabat sebagai Bupati Kebumen.
Akhirnya, dia mendapatkan modal sebesar Rp 5 juta. Rp 3 juta dia gunakan untuk mengontrak tempat usaha dan Rp 2 juta untuk membeli kain perca.
Dari angka Rp 5 juta dulu, sekarang dia sudah memiliki puluhan ribu karyawan yang tidak hanya tersebar di pulau Jawa dan Sumatera.
Dia merekrut karyawan yang juga bernasib sama dengan dirinya. Tidak hanya warga yang memiliki kekurangan, namun kini dia juga memiliki karyawan dari komunitas waria dan PSK.
"Prinsip saya, jika sudah berjalan, tetaplah berjalan jangan menoleh. Karena tidak ada perusahaan yang mau menerima saya, saya buka lapangan kerja sendiri," tandasnya.
Produk keset dari kain percanya itu dibanderol dengan harga Rp 35 ribu hingga Rp 125 ribu. Produknya itu juga sudah sampai pasar Australia.
Dia berpesan agar para perempuan jangan hanya berpangku tangan dengan suami saja.
Orang yang mempunyai keterbatasan, lanjut dia, bukan menjadi satu halangan untuk berprestasi. (tribunjateng/Mamdukh Adi Priyanto)