TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Mudiharja, pria asal Banjar yang kini berusia 56 tahun ini dulunya adalah seorang penjual siomay keliling di kawasan Malioboro, Kota Baru, Klitren, dan Benteng. Ia mulai berkeliling dengan gerobak siomay-nya sejak tahun 1986.

Dengan usaha kerasnya, kini ia memiliki tempat menetap untuk menjajakan siomay-nya di Jalan Kaliurang km 8,3 dan mampu menyekolahkan tiga dari enam anaknya hingga perguruan tinggi.

Siomay Kang Cepot, inilah usaha siomay yang Mudiharja jalankan sejak ia memiliki kontrakan sebagai tempatnya berjualan siomay di kawasan Jakal (Jalan Kaliurang) sejak tahun 1990. Dengan pendidikan yang terbatas tidak menyurutkan niatnya untuk menekuni bisnis kuliner ini.

Bagaimana tidak, saat masuk dalam usia sekolah ia hanya mampu mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD), itupun hanya di bangku kelas satu. Memasuki usia delapan tahun ia berjualan es lilin untuk membantu perekonomian keluarga.

Sejak beranjak dewasa, jiwa wirausahanya terus diasah. Berkat modal usaha sebanyak Rp 260.000 yang ia dapatkan dari seorang teman, Mudiharja membuat sebuah gerobak dan membeli bahan baku untuk membuat siomay.

Namun pada awal usahanya justru ia merugi seratus ribu. Dengan uang yang masih ia miliki, tahap demi tahap ia kembali bangkit dan mulai menambah jumlah gerobak kelilingnya.

"Selama satu tahun, bapak kelola sendiri, setelah itu ada teman yang membantu mengelola, akhirnya bapak punya enam gerobak siomay," jelasnya.

Masa Sulit

Masa sulit perekonomian keluarga kecil Mudiharja ketika masih berusia di bawah dua puluh tahun. Kala itu ia masih tergolong baru membangun usaha dan belum cakap tentang proses mengelola sebuah bisnis kuliner.

Hingga pada titik dimana ia mampu membuat gerobak ke tiga, bisnisnya mulai menampakkan hasil, dan istrinya mulai mendukung usahanya.

"Mendirikan sebuah usaha memang susahnya itu awalnya, kalau sudah jalan tinggal kita mengelolanya saja," terang Mudiharja, Rabu (22/4/2015).

Keterbatasan Mudiharja dalam mengelola sebuah usaha menyadarkannya bahwa pendidikan itu penting untuk bertahan dalam hidup ini. Ia berusaha agar anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih layak darinya. Karena kondisi perekonomiannya yang belum mapan, anak pertama dan kedua hanya menempuh hingga bangku SLTA.

Baru setelah perekonomian keluarga membaik, anak ketiga, keempat dan kelima menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi jurusan kedokteran.

Target hidup Mudiharja yaitu pada usia 40 tahun ia telah memiliki usaha yang mapan, memiliki rumah sehingga ia dapat tenang di masa tua. Ia mengucap syukur Alhamdulillah, karena pada usia 30-an telah mendapatkan semua itu.

"Kerja keras memang tak mengkhianati hasil akhir," katanya. (tribunjogja.com)