Bukan tak Mungkin Singkil Jadi Pengekspor Kulit Buaya Terbaik
Wacana untuk membangun penangkaran buaya pun muncul ke permukaan.
Editor: Budi Prasetyo
Laporan Wartawan Serambi Indonesia/ Eddy Fitriady | Banda Aceh
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Konflik yang terjadi antara buaya dan masyarakat Aceh Singkil menjadi sorotan publik selama beberapa pekan terakhir. Wacana untuk membangun penangkaran buaya pun muncul ke permukaan.
Pengamat sosial-politik, TAF Haikal menilai, wacana penangkaran buaya tersebut bisa menjadi solusi dan bila nantinya dikelola dengan baik, akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat setempat.
"Bahkan bila dikelola dengan baik, bukan tak mungkin Aceh Singkil akan menjadi pengekspor kulit buaya terbaik," ujarnya via telepon, Kamis (21/6/2015) di program Cakrawala. Menurutnya, konflik antara buaya dan masyarakat Aceh Singkil telah berlangsung lama.
"Singkil itu banyak rawanya, sehingga konflik dengan buaya sulit dihindarkan. Ditambah lagi degradasi (kerusakan) hutan, habitat buaya diganggu, makanya dia begitu," kata pria kelahiran Bakongan, Aceh Selatan ini.
Selain itu, TAF Haikal juga mengkritisi lambannya respons pemerintah setempat dalam menyelesaikan kasus ini. "Tak heran jika pemerintah begitu lamban, karena ini soal buaya, coba soal ditemukannya bongkahan giok, langsung bergerak cepat," sindirnya. Dia mengakui, Aceh bagian Barat dan Selatan memang dikenal dengan hutan yang didiami aneka satwa liar, sehingga konflik dengan 'mereka' pun tak terhindarkan. "Ada lelucon yang mengatakan; Barat Selatan identik dengan digigit buaya, diterkam harimau, dan diinjak gajah," guraunya.
Dalam program Cakrawala yang berlangsung satu jam itu, tim mengangkat Salam Serambi edisi hari ini, Kamis (21/5/2015) dengan tema “Abaikan Kepentingan Buaya, Prioritaskan Masyarakat”. Program interaktif unggulan SerambiFM 90,2 Mhz itu menghadirkan Sekretaris Redaksi Serambi Indonesia, Bukhari M Ali dipandu host Nico Firza.
Bukhari mengatakan, amarah warga yang mendemo DPRK Singkil itu harus dijadikan refleksi bagi pemerintah setempat untuk memikirkan nasib masyarakatnya, terlebih keluarga yang kehilangan anggota keluarganya karena disantap buaya. Selain itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dituntut untuk mencari solusi atas nasib masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya, sebagai pencari lokan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.