Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengusaha Korban Lapindo Bawa Satu Kontainer Dokumen ke MK

Muryid berharap seambrek dokumen dan berkas itu bisa meyakinkan para majelis hakim Mahkamah Konstitusi.

Editor: Budi Prasetyo
zoom-in Pengusaha Korban Lapindo Bawa Satu Kontainer Dokumen ke MK
Surya/eben haezer panca
Para pengusaha korban Lumpur Lapindo usai pertemuan di Sidoarjo, Senin (18/5/2015). 

TRIBUNNEWS.COM.SIDOARJO - Sudah sembilan tahun para pengusaha kehilangan pabrik dan aset ekonomi akibat lumpur Lapindo.

Namun, pelunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya belum terealisasi.

Padahal, berbagai upaya telah dilakukan. Kini, mereka berharap bisa mendapatkan haknya melalui Mahkamah Konstitusi.

Skema ganti rugi untuk 31 pengusaha ini ditetapkan ala business to business atau B to B.

Artinya, nilai ganti rugi yang akan diperoleh adalah hasil negosiasi antara pengusaha dengan PT Minarak Lapindo Jaya.

"Skema ini patut diduga sebagai upaya menghilangkan hak konstitusional pengusaha korban lumpur,” papar Mursyid Murdiantoro, kuasa hukum Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Sidoarjo, Selasa (19/5/2015).

Sejak awal, kata Mursyid, kliennya sudah menduga bahwa mekanisme B to B itu sengaja diterapkan karena lebih menguntungkan Lapindo.

Berita Rekomendasi

Dugaan itu, lanjutnya, ternyata terbukti. Setelah memberikan uang muka 30 persen dari total nilai aset yang disepakati, Lapindo tak kunjung membayar sisanya. Alasannya, kondisi keuangan perusahaan tak memungkinkan.

Memang akhirnya pemerintah memberikan dana talangan pada Lapindo untuk melunasi hak-hak korban lumpur. Dana itu diambilkan dari APBN 2015 senilai Rp 781 miliar.

Namun sayang, pemerintah tidak memasukkan pengusaha korban lumpur dalam daftar penerima dana talangan dari APBN. Dana itu hanya untuk korban dari kalangan warga desa.

“Pemerintah juga ikut bersikap abai terhadap hak-hak mereka (pengusaha). Dana talangan seharusnya tidak hanya untuk warga, tetapi juga pengusaha,” ujar Mursyid.

Skema B to B, paparnya, hanya kamuflase atau janji manis. “Ini aneh. Sebelumnya, pihak Lapindo sudah menyatakan tidak sanggup menyelesaikan kewajiban. Tetapi, kemudian membuat skema B to B. Kalau sudah tidak sanggup, bagaimana bisa menerapkan B to B?” tanya Mursyid.

Itu sebabnya, para pengusaha kemudian nekat mencari keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka mengajukan uji materi UU 3/2015 tentang Perubahan APBN 2015, khususnya Pasal 23b Ayat 1, 2, dan 3 yang mengatur dana talangan untuk Lapindo.

Gugatan sudah sudah didaftarkan 27 April 2015. “Semua dokumen sudah kami serahkan. Saking banyaknya, kami sampai pakai satu kontainer dari Surabaya ke Jakarta,” kata Mursyid.

Butuh waktu empat hari mengangkut hingga bongkar muat dokumen, ratusan kardus itu.

Dokumen diangkut dari Surabaya pada 24 April 2015 dan baru tuntas bongkat muatan di MK pada 27 April 2015.

Muryid berharap seambrek dokumen dan berkas itu bisa meyakinkan para majelis hakim Mahkamah Konstitusi.

“Seperti halnya warga, pengusaha juga sudah menderita selama sembilan tahun,” tuturnya.

Mursyid optimistis, majelis hakim akan mengabulkan permohonan para pengusaha korban Lapindo.

Sebab, putusan MK 83/2013 menyatakan negara wajib menjamin penyelesaian pembayaran ganti rugi oleh perusahaan kepada korban.

“Yang namanya korban itu tidak bisa dibedakan antara unsur rumah tangga dan pelaku usaha,” tegasnya.

Dwi Cahyani, pemilik pabrik furniture yang juga menjadi korban lumpur berharap pemerintah tidak membedakan pengusaha dengan warga biasa.

“Kami juga korban lumpur. Ini yang sering dilupakan orang,” ujarnya.

Dwi kini mencoba menyambung usaha dengan menyewa gedung untuk pabrik di Jl Ksatriyan, Buduran, Sidoarjo. (Eben Haezer Panca/Benni Indo/David Yohannes)

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas