Kasus Engeline, antara Privasi dan Pengungkapan Kasus
Berkaca dari kasus terbunuhnya Engeline, ada banyak hal yang menjadi perdebatan tentang pentingnya perlindungan kepada korban anak-anak
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Berkaca dari kasus terbunuhnya Engeline, ada banyak hal yang menjadi perdebatan tentang pentingnya perlindungan kepada korban anak-anak, HAM dan Privasi seseorang.
Khususnya pada pemberitaan di media, dimana kasus ini telah diberitakan secaa besar-besaran di berbagai media massa baik cetak, elektronik maupun online.
Ada banyak kepentingan yang masuk di dalam pemberitaan kasus Engeline, diantaranya kepentingan untuk pengungkapan kasus, perlindungan terhadap anak, korban dan keluarga, "panggung berorasi" dan agar kasus ini menjadi kewaspadaan bagi masyarakat. Namun disisi lain kepentingan media yang harus memberitakan informasi secara cepat, tepat dan akurat kepada publik juga menjadi permasalahan tersendiri.
Pemasalahan ini menjadi perbincangan utama dalam diskusi yang diselenggarakan oleh AJI Denpasar di Warung Kubu Kopi, Sabtu (20/6). Diskusi yang diadakan di sore kemarin mengambil tema Menegakkan Etika Profesionalisme Jurnalis, Belajar Dari Pemberitaan Kasus Engeline.
Hadir dalam acara ini, para wartawan media massa di Denpasar, Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, Direktur LBH Bali, Ni Luh Gede Yastini, Mantan Ketua AJI Jakarta, Komang Wahyu Dhyatmika, Ketua P2TP2A, Luh Putu Anggraini, Perwakilan dari Ombudsman RI dan Satgas Perlindungan Anak Denpasar.
Ada dua topik utama yang menjadi perhatian dalam pemberitaan kasus Engeline, yaitu soal perlindungan identitas korban dan privasi. Dalam hal perlindungan identitas misalnya, ada dua perspektif yang berbeda dalam menyikapi cara pemberitaan korban. Pandangan pertama menyebutkan bahwa korban yang masih anak-anak seharusnya identitasnya tetap dirahasiakan. Baik korban masih hidup ataupun sudah meninggal.
"Saya keberatan dengan dipublikasikannya foto jasad korban, rincian aotopsi dan cara dia meninggal," ujar Direktur LBH Bali, Ni Luh Gede Yastini. Menurutnya dengan diungkapnya hal-hal tersebut akan menimbulkan trauma pada pembaca terutama pada anak-anak dan para orang tua.
Sedangkan adapun pendapat lain mengungkapkan bahwa tidak masalah identitas seperti nama, alamat dan sekolah korban diungkapkan karena korban sudah meninggal sehingga tanggung jawab media beralih dari melindungi masa depan korban menjadi tanggung jawab agar kebenaran kasus dapat terungkap seterang-terangnya.
Adapun tentang privasi yang juga harus diperhatikan dalam sebuah pemberitaan. Contohnya saat peliputan ke rumah ibu angkat Engeline di Jalan Sedap Malam, Denpasar. Saat itu ibu angkat Engeline akhirnya tersinggung dan emosi karena merasa terganggu privasinya akibat kediamannya diekspose terutama soal ketidak layakan tempat tinggalnya.
Menanggapi hal ini, Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa saat itu pihaknya telah memberitahu dan minta izin terhadap pemilik rumah dan tidak ada penolakan. "Harus dilihat perspektifnya, karena ada aturannya. Saat itu kami sudah memberi tahu dan tidak ada penolakan. Namun ketika sampai sana ada penolakan, akhirnya kami paksa," ujar pria berambut putih ini.
Ia menambahkan bahwa saat itu pihaknya sudah memberitahu bahwa akan datang pukul 19.30 WITA dan tidak ada penolakan sehingga pihaknya berani masuk. Yang menjadi masalah adalah saat ditanyakan mengenai kelayakan tempat tinggalnya yang akhirnya dijawab tidak layak. Disitulah akhirnya timbul kemarahan Margreit yang dijadikan angle berita oleh kebanyakan media massa.
Namun menurut Arist, bila saat itu media tidak memberitakan hal tersebut secara besar-besaran maka kemungkinan tabir ini tidak akan terungkap. "Ini satu sisi menjadi dilematis. bagaimana kalau ini tidak diberitakan lalu bagaimana ini cara mengungkapnya?" lanjutnya.
Akan tetapi dalam setiap pemberitaan, khususnya mengenai hal sensitif media diharapkan mampu lebih banyak memberikan masukan ke arah positif seperti halnya lebih menekankan agar kasus ini menjadi edukasi dan kewaspadaa publik agar kasus serupa tidak terulang di masa yang akan datang.
"Media dan wartawan diharapkan dapat mengelola angel, tidak beropini dan sebisa mungkin menghindari dampak buruk dari berita. Tentunya juga dengan selalu berpedoman pada kode etik jurnalistik," tandas Komang Wahyu Dhyatmika, Mantan ketua AJI Jakarta yang juga penerima Niewman Fellowship ini. (Vir)