Kisah Haru Juru Ketik Manual yang Bertahan di Tengah Jaman Komputer
Di zaman yang serba digital ini, sebagian besar masyarakat telah beralih menggunakan komputer untuk menyelesaikan pekerjaan kantornya.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Di zaman yang serba digital ini, sebagian besar masyarakat telah beralih menggunakan komputer untuk menyelesaikan pekerjaan kantornya.
Selain lebih mudah, pekerjaan jadi cepat selesai. Kendati demikian, ternyata masih ada orang yang menawarkan jasa ketik menggunakan mesin tik manual di Yogya.
Seperti yang coba dilakukan oleh Antini, warga Karangbendo, Caturtunggal, Sleman. Tini, panggilan akrabnya, masih membuka jasa mengetik menggunakan mesin tik manual.
Sejak tahun 1991, atau hampir selama 24 tahun, Tini setia mengetik ribuan dokumen pesanan pelanggan dengan mesin tik kesayangannya.
Mesin tik buatan Jepang bermerk 'Brother' seakan seperti anak kandungnya sendiri. Dari mesin tik tua inilah, Tini mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus dan bekerja.
Setiap hari, pagi-pagi buta, Tini berangkat dari rumah kakaknya di Karangbendo, Sleman, menuju tempatnya bekerja di depan GOR UNY.
Tak lupa, mesin tik 'Brother' kesayangannya, ditentengnya menuju lapak sempit di sudut Jalan Kolombo.
Ketrampilannya mengetik bukan didapatnya cuma-cuma, namun belajar dari sekolahnya dahulu.
Tak butuh waktu lama baginya untuk belajar mengetik, teknik mengetik 10 jari buta pun langsung dikuasainya di jurusan Tata Usaha di sebuah SMEA (sekarang SMK) di Bantul.
Usai lulus dari SMEA, ia memutuskan untuk bekerja menjadi juru ketik (type writter). Mula-mulanya, ia berkerja di Jalan Cendrawasih sebagai juru ketik.
Tak lama, ia memutuskan untuk pindah, dan membuka jasa pengetikan di simpang tiga di sisi timur gerbang masuk UNY.
Hingga kini, ia menempati lapak kosong di sebelah gerai buah milik kakaknya di depan GOR UNY.
Dulu Ramai
Tini bertutur, dahulu pada awal ia membuka jasa pengetikkan pada tahun 1991, banyak orang yang menggunakan jasanya.
Tak hanya untuk mengetik dokumen-dokumen pajak, bahkan sampai laporan praktikum mahasiswa-mahasiswa kala itu. Sehari, puluhan dokumen sudah mengantri untuk diketik.
"Dahulu laris sekali, dari mengetik dokumen-dokumen, bahkan sampai laporan praktikum mahasiswa dulu UNY apa UGM. Mesin tik ini dulu saya beli Rp300.000, yang lumayan mahal, dan sampai sekarang menjadi andalan saya," senyum Tini.
Namun, zaman telah berubah. Lebih dari dua dekade, perkembangan teknologi komputer sangatlah pesat. Orang lebih memilih komputer untuk menyelesaikan urusan tulis menulis, ataupun pekerjaan kantornya.
Kini ketika semua orang memiliki komputer mereka sendiri, mesin tik tak lagi digunakan.
Orderan ketikan Tini mulai sepi, jasa pengetikan manualnya mulai dilupakan.
Pelanggan-pelanggannya seluruhnya telah beralih menggunakan komputer. Namun, kendati jasanya sepi, Tini tak lantas berputus asa.
Ia terus menekuni jasa pengetikan manualnya.
Sekolahkan Anak
Bukan hanya alasan mesin tik yang kuno dan telah jadi barang usang, namun mata pencahariannya hanya berasal dari situ.
Berkat mesin tiknya, tak hanya ia dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, bahkan dapat menyekolahkan anak-anaknya, sampai dapat bekerja sekarang.
Tini sempat putus asa, dan memutuskan untuk menutup jasa pengetikan manualnya. Semenjak berpisah dengan suaminya pada tahun 2003, Tini hidup menyendiri.
Kesedihan yang merundungnya menjadi alasan utama baginya berhenti.
Namun kesedihan tak berlangsung lama. Ketika ia berhenti bekerja, ternyata masih banyak pelanggan jasanya menghubunginya, dan mendesaknya untuk membuka kembali usahanya.
Sampai ia bertemu seorang mahasiswa yang berniat memakai jasanya, dan rela menyusul di kediamannya di Bantul.
Mahasiswa tersebut, meminta Tini untuk membuka kembali jasanya. Tini pun terang-terangan mengaku tak mempunyai modal untuk menyewa tempat lagi.
Sampai mahasiswa tersebut menyarankannya untuk membuka jasa pengetikkan di tepi jalan sama seperti tukang makanan di depan GOR UNY.
"Ia bilang kepada saya, kenapa ibuk tak membuka seperti penjual makanan di depan GOR sana. Yang penting kan ibu bisa bertemu pelanggan. Akhirnya usul tersebut saya pikirkan matang-matang, dan akhirnya saya memberanikan diri membuka jasa pengetikkan disini," tutur Tini.
Modal Tekad
Bermodalkan keberanian dan tekad yang kuat, Tini kembali membersihkan mesin tiknya yang lama tak dipakai selama masa berdukanya.
Ia lalu membeli payung besar, menyiapkan bangku dan meja, sebagai tempat kerjanya. Hari pertama, Tini merasa sedikit malu, orang sering menganggapnya gila.
Namun, lama kelamaan, ia mulai terbiasa. Satu per satu, pelanggan mulai mendatanginya lagi.
"Walaupun panas kepanasan, hujan kehujanan, bahkan orang-orang mengejek saya gila, saya tak akan berhenti mengetik. 'Brother' selalu menemani saya, dan dari sinilah saya menggantungkan hidup," tuturnya.
Kalau dulu, orderan jasa ketik Tini banyak, sekarang ia hanya menerima dua-tiga orderan yang tak setiap hari ada.
Bahkan tak jarang, seminggu, Tini tak menerima pesanan ketikan. Jika sudah demikian, ia hanya bersabar dan mengelus dada, ketika tak sesen pun didapatnya.
"Sehari bisa dapat Rp30.000 sampai Rp 50.000, kemarin bahkan nggak dapat sama sekali. Semenjak puasa kemarin, sudah sepi yang mau mengetikkan di sini. Kalau sudah begitu ya saya hanya sabar.'' ujar Tini.
Janda berumur 45 tahun ini mengaku akan terus meneruskan jasa pengetikan menggunakan mesin tik manual.
Ia berharap, masih ada yang sudi menggunakan jasanya, karena hanya keahlian itulah yang ia punyai, dan hanya dari situlah Tini mencukupi diri.
"Hanya ini yang sekarang saya punyai. Brother. Semoga Tuhan senantiasa memberikan saya kesehatan dan perlindungannya, karena dari sini saya mencukupi diri," pungkasnya. (tribunjogja.com)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.