Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Minta Hujan, Warga Blitar Saling Cambuk hingga Berdarah-darah

Mereka ingin beradu kekuatan, demi mendatangkan air hujan.

Editor: Mohamad Yoenus
zoom-in Minta Hujan, Warga Blitar Saling Cambuk hingga Berdarah-darah
Surya Malang
Saling cambuk demi meminta hujan, di Blitar. 

Laporan Wartawan Surya Malang, Imam Taufiq

TRIBUNNEWS.COM, BLITAR - Di tengah alam terbuka, dengan panas matahari menyengat kepala, puluhan peserta antre naik ke atas panggung terbuka.

Mereka ingin beradu kekuatan demi mendatangkan air hujan.

Pemandangan itu adalah ritual minta hujan, yang berlangsung di tengah sawah, Dusun Pakel, Desa Bangle, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Rabu (16/9/2015) siang.

Ritual minta hujan yang dikenal dengan ritual Tiban itu kali ini diikuti puluhan orang.

Rata-rata pesertanya sekitar 25 pasang dalam sehari. Itu akan dilakukan selama 14 hari.

Jika dalam waktu 14 hari belum turun hujan, akan diperpajang sampai 7 hari lagi, dan hingga turun hujan.

Berita Rekomendasi

Seperti biasanya, pesertanya tak hanya berasal dari warga desa setempat saja.

Namun, dari berbagai kecamatan, dan luar Blitar.

Pesertanya cukup banyak itu karena keinginannya sama, yakni sama-sama minta hujan, sehingga mereka rela bersakit-sakitan, untuk beradu saling pukul cambuk.

Meski pertandingan ini terlihat bebas, namun tetap ada peraturannya.

Karena itu, pertandingan dipimpin seorang wasit, Wakidi (68), orang yang dituakan.

Aturannya, tiap sesi, hanya diikuti dua peserta. Cara menentukan lawan, bukan ditentukan wasit, namun peserta sendiri.

Seperti saat giliran Sutrisno (36), warga Desa Bacem, Kecamatan Sutojayan, naik panggung.

Sebelum mendapatkan lawan, ia memutar-mutarkan cambuknya di atas panggung, sambil berjoget, mengiringi musik jaranan.

Karena cambuknya diputar-putar, itu berarti ia mencari lawan.

Akhirnya, Edi Eni (40), warga Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, terpancing.

Karena umur dan postur tubuhnya dianggap imbang, wasit mempersilahkan keduanya berhadapan.

Untuk menentukan pertandingan ini, keduanya harus bersepakat dulu, siapa yang mencambuk duluan, dan siapa yang menahannya.

Setelah disepakati, baru bertandingan dimulai. Saat itu, Sutrisno yang mencambuk duluan selama tiga kali ke tubuh Edi.

Edi hanya menangkisnya, dengan cambuk, yang dipegangnya. Begitu pula, saat Edi giliran mencambuk, Sutrisno, gantian yang menangkis.

Meski tak ada ketentuan menang atau kalah, namun dalam pertandingan itu, Sutrisno dianggap kalah.

Sebab, tiga kali cambukan Edi, selalu mengenai punggungnya, hingga terluka dan mengeluarkan darah.

Namun demikian, luka Sutrisno itu tak dirasakan. Sebab, sebentar diolesi dengan air liur si wasit, rasa nyerinya langsung berkurang.

"Kalau sudah diolesi seperti itu, meski kena air, nggak perih laagi," tutur Sutrisno yang mengaku sudah tiga kali mengikuti pertandingan ini.

Menurut Wakidi, ini bukan pertandingan kalah atau menang.

Namun, ini adalah ritual. Karena itu, semakin banyak peserta yang terluka apalagi sampai berdarah, diyakininya kian memcepat turunnya hujan.

"Luka itu merupakan bentuk pengorbanan bagi warga, yang butuh air hujan. Karena itu, mereka rela mengorbankan darahnya keluar demi ingin mendapatkan air hujan. Dan, itu sudah kami lakukan sejak nenek moyang dulu," tuturnya.

Mungkin saja, papar Wakidi, Tuhan berbelas kasihan dan tak tega, mengetahui ada orang yang rela bersakit-sakitan, demi mendapatkan air hujan.

"Biasanya, hujan itu turun ketika ritual ini sudah berlangsung 14 hari. Itu biasanya diawali dengan hujan rintik-rintik. Kalau sudah ada hujan, ritual ini ya dihentikan," pungkasnya.

Di Kabupaten Blitar ini, ritual Tiban itu hanya ada di desa itu. Itu berlangsung sejaak nenek moyang dulu. (*)

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas