Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

19 Waduk di Jombang Kering, 1.466 Hektare Sawah Tidak Bisa Ditanami

Sedikitnya 1.466 hektare sawah produktif di Kabupaten Jombang tidak bisa ditanami.

Editor: Sugiyarto
zoom-in 19 Waduk di Jombang Kering, 1.466 Hektare Sawah Tidak Bisa Ditanami
Kompas Jatim/BAHANA PATRIA GUPTA
ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG - Sedikitnya 1.466 hektare sawah produktif di Kabupaten Jombang tidak bisa ditanami.

Ini karena 19 waduk atau embung yang menjadi sumber air sebelum musim kemarau, kini dalam kondisi telah mongering.

Petani terpaksa menunggu turun hujan untuk bisa mengolah sawahnya kembali.

Kekeringan waduk paling parah terjadi di Kecamatan Kabuh dan Kecamatan Plandaan.

Sebanyak lima waduk di wilayah utara Sungai Brantas ini debit airnya menyusut bahkan tiga diantaranya telah kering sama sekali.

Seperti Waduk Grojogan di Desa Plabuhan, Kecamatan Plandaan.

Waduk seluas 5 hektare ini telah kering kerontang sejak dua bulan lalu. Akibat kekeringan kondisi tanah di dasar waduk retak-retak.

Berita Rekomendasi

Selain itu pintu air juga tampak tak terurus. Padahal waduk ini biasanya mengairi lahan sawah seluas 98 hingga 200 hektare.

Kini lahan yang sebelumnya mengandalkan Waduk Grojogan hanya menunggu hujan turun.

“Kami dan warga lain berharap pada bantuan pemerintah setempat untuk dibuatkan sumur bor atau sumur artesis,” kata Suladi, warga Desa Plabuhan, Senin (28/9/2015).

Selain Waduk Grojogan, ada 18 waduk lainnya yang mulai mengering, yang tersebar di lima kecamatan.

Yakni Kecamatan Kabuh, Plandaan, Bareng, Kudu dan Kecamatan Ngusikan.

Kepala Dinas PU Pengairan, Arif Gunawan menyatakan, sebenarnya air pada 18 waduk ini belum kering sama sekali. Namun air yang ada tidak bisa dimanfaatkan petani guna mengairi sawah.

“Sebab pintu airnya lebih tinggi dibanding permukaan air waduk. Ini memang kami akui,” kata Arif Gunawan.

Akibat keringnya ke-19 waduk tersebut, lahan sawah seluas 1.466 hektare kini tidak bisa ditanami. Sehingga banyak petani alih profesi, setidaknya sampai turun hujan.

Untuk turun ke sawah lagi mereka menunggu turun hujan.

“Jika para petani memaksa tanam, maka harus menggunakan air bawah tanah dengan biaya produksi yang tinggi. Kami tidak mampu membiayainya,” kata Suladi.

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas