Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Siapapun yang Memecah Belah Abdi Dalem Harus Keluar dari Keraton

Perselisihan antar Abdi Dalem di Keraton Kasultanan Yogyakarta menimbulkan keprihatinan bagi para Kerabat Keraton.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Siapapun yang Memecah Belah Abdi Dalem Harus Keluar dari Keraton
Tribun Jogja/Santo Ari
Ratusan warga mengikuti ritual Topo Bisu Mubeng Benteng di komplek Keraton Yogyakarta, Sabtu (25/10/2014) dini hari. 

Laporan Wartawan Tribun Jogja, M. Nur Huda

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Perselisihan antar Abdi Dalem di Keraton Kasultanan Yogyakarta menimbulkan keprihatinan bagi para Kerabat Keraton.

Puncaknya, terjadi perbedaan pendapat pada rencana pelaksanaan Lampah Budaya Tapa Bisu Mubeng Benteng pada peringatan 1 Sura.

Para Abdi dalem keprajan (abdi dalem berlatar belakang Pegawai Negeri Sipil/PNS, pensiunan pejabat pemerintah, kepolisian, militer, dan lainnya), berencana menggelar Mubeng Benteng 1 Sura sesuai penanggalan Masehi atau pemerintah yakni Selasa (13/10/2015) malam.

Sementara para Abdi Dalem Punokawan (abdi dalem dari kalangan masyarakat umum yang bertugas di Keraton), mengikuti penanggalan Sultan Agungan atau kalender yang diikuti oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.

Namun upaya para abdi dalem keprajan tersebut berhasil dicegah oleh para Kerabat Keraton. Mereka diminta untuk tidak saling berselisih dan tetap bersatu dalam pelaksanaan Mubeng Benteng sesuai kalender Sultan Agungan.

"Saya sangat sayangkan para Abdi Dalem-Abdi Dalem ini. Saya menganggap ada para Penghageng yang kurang beres," kata Gusti Bendara Pangeran Harya (GBPH) Prabukusumo atau Gusti Prabu sebelum pemberangkatan ritual Tapa Bisu Mubeng Benteng, di Keben, Keraton, Rabu (14/10/2015) malam.

Berita Rekomendasi

Pada forum terbuka itu, Gusti Prabu mempertemukan Sekretaris Paguyuban Abdi Dalem Keprajan, KMT Condropurnomo dengan Ketua Panitia Mubeng Benteng Keraton, KRT Gondohadiningrat.

Kedua pihak diminta untuk bersalaman dan berdamai, disaksikan para abdi dalem lain dan ribuan warga yang hadir.

"Saya mohon Abdi Dalem harus rukun, ada luput sedikit saling mengingatkan. Jadi harus rukun, tidak boleh pecah belah. Siapapun yang memecah belah harus keluar dari Keraton," tegas Gusti Prabu usai pemberangkatan, kepada wartawan.

"Saya tidak mau para Abdi Dalem punya pikiran buruk, iri, dengki dan sebagainya. Saya ingin Abdi Dalem dan masyarakat semua punya pikiran mulia," katanya.

Ia menjelaskan, ritual Mubeng Benteng ini bermula memang dari masyarakat khususnya para Abdi Dalem Keprajan. Kemudian berkembang diikuti para Abdi Dalem Punokawan dan masyarakat umum.

Begitu pula kepanitiaannya juga sudah ditangani para Abdi Dalem dan masyarakat sejak lama dan tak pernah berubah.

Mereka terdiri dari para Abdi Dalem Keprajan, Abdi Dalem Punokawan, Paguyuban Lurah Dukuh, kelompok masyarakat, dan tokoh masyarakat.

"Entah ada apa kok tiba-tiba ada yang membikin sendiri, dan memilih sebagai ketua Kanjeng Gondho (KRT Gondohadiningrat). Kemudian kemarin juga saya panggil Kanjeng Gondho ke rumah saya, dan saya sampaikan kalau dia hanya jadi mainan," ungkapnya.

"Jadi Abdi Dalem itu enggak boleh dipermainkan, yang kurang dekat dengan Ngarso Dalem merasa tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan Ngarso Dalem terus disingkirkan, itu tidak boleh. Abdi dalem harus rukun, kalau ada yang tidak bener saling mengingatkan. Jangan diadu domba," tegasnya.

Ia juga menyinggung keterlibatan Pemda DIY melalui Dinas Kebudayaan DIY yang turut terlibat dalam ritual ini.

Menurut Gusti Prabu, siapa saja boleh bergabung mengikuti ritual Mubeng Benteng Keraton, namun tidak boleh terlalu jauh melibatkan diri hingga mengubah yang telah ada.

"Dinas Kebudayaan juga perlu tahu, kepanitiaan ini ada aturannya. Jadi jangan sampai kepanitiaan yang sudah bertahun-tahun diganti begitu saja. Sebab ada paguyuban-paguyuban yang nyengkuyung di sana," katanya.

Kabid Sejarah Purbakala Dinas Kebudayaan DIY, Erlina Hidayati, saat ditemui usai acara mengatakan, kehadiran pemerintah dalam acara ini hanya dalam konteks mendukung pelestarian budayanya.

Karena lampah budaya Mubeng Benteng ini sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional.

"Jadi, kami harus mendukung pelestariannya," ujarnya.

Terpisah, Yayasan Songsong Boewono juga menggelar acara refleksi malam 1 sura di Ndalem Pujokusuma, Mergangsan.

Awalnya mereka berencana menggelar topo bisu sendiri, namun dibatalkan. Melainkan, acara diganti dengan doa bersama dan potong tumpeng.

Menurut Ketua Yayasan Songsong Boewono KRT Pujodiningrat yang adalah Cucu HB VIII, Topo Bisu adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat, yang berkeinginan mendoakan Rajanya beserta Keraton.

Maka pihaknya menyayangkan jika ada pihak-pihak di internal Keraton, yang dinilai telah intervensi kegiatan masyarakat tersebut. Terlebih telah mengambil alih ritual dari masyarakat itu ke Keraton.

"Kalau Topo Bisu diambil alih Keraton itu keliru, sebab ide ini kan dari masyarakat bukan dari Keraton. Makanya apakah beliau-beliau ini belum paham, saya enggak tahu," katanya.

Sumber: Tribun Jogja
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas