Kisah Mbah Lindu Penjaja Gudeg Tertua, Jualan Sejak Zaman Penjajahan
Istimewanya, Mbah Lindu, sang penjual yang kini berusia 96 tahun sudah berjualan gudeg bahkan sebelum zaman penjajahan Jepang.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Selain dikenal sebagai Kota Pelajar, Yogyakarta juga dikenal dengan julukan Kota Gudeg.
Gudeg menjadi menu yang mudah dijumpai di penjuru kota Yogya.
Salah satunya, Gudeg Mbah Lindu di Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta.
Istimewanya, Mbah Lindu, sang penjual yang kini berusia 96 tahun sudah berjualan gudeg bahkan sebelum zaman penjajahan Jepang.
"Tahunnya kapan saya sudah lupa, tapi sebelum Jepang datang. Wong Jepang datang itu saya sudah punya anak satu," tegasnya.
Perempuan yang memiliki nama asli Setya Utomo ini menuturkan, saat pertama kali berjualan, dirinya berkeliling menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki dari rumahnya di Klebengan Caturtunggal E 6 Depok, Sleman, ke kawasan Kaliurang.
"Gudeg saya gendong, lalu jalan kaki berkeliling. Zaman dulu kan tidak ada bis, rumah juga belum banyak seperti sekarang," ungkapnya saat ditemui Kompas.com di Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta, Selasa (19/1/2016) pagi.
Perempuan yang dikaruniai lima anak dan 15 cucu ini mengaku merasakan transaksi dengan menggunakan mata uang "Benggol" dan Sen.
Bahkan, dia berjualan pada masa dimana empat sampai lima pincuk nasi gudeg hanya seharga satu sen.
"Benggol terus uang koin yang bolong tengahnya itu saya sudah mengalami. Wong zaman itu satu sen bisa mendapat empat sampai lima pincuk gudeg," ujarnya.
Hanya saja, dia mengaku lupa alasan awalnya ikut berjualan gudeg.
"Lupa Mas. Tetapi kan di desa zaman dulu banyak yang buat gudeg," ucapnya.
Dikunjungi turis asing
Setelah puluhan tahun jualan gudeg dengan keliling berjalan kaki, kini usaha Mbah Lindu menetap di sebuah poskamling di Jalan Sosrowijayan.